-banyak
terjadi salah pengertian akan makna hidup seimbang diantara manusia, semoga dengan
pembahasan ini kita bisa mendapatkan
pandangan/konsep yang benar-
Allah
berfirman:
“Dan carilah pada apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi ….”
(Q.S. Al-Qashash: 77)
Setelah
merenungkan ayat mulia ini, didapati bahwa kata “ibtaghi” (carilah) disebutkan untuk MENGUKUHKAN perkara yang
agung. Perkara beribadah kepada Allah dengan ikhlas dan mempergunakan
nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya untuk menaati-Nya.
Ketika
merenungkan lafal, “Janganlah kamu
melupakan”, didapati bahwa peringatan di sini disebutkan lantaran beberapa
faktor,
di antaranya:
v Pengukuhan
bahwa DUNIA IALAH SARANA DAN BUKAN TUJUAN atau target. Sebab, tidak pernah ada bahwa sarana
itu lebih penting
daripada tujuan.
v Kemungkinan kata “lupa” di dalam firman-Nya, “Janganlah kamu melupakan”, menegaskan
REMEHNYA urusan dunia.
v Perhatian
terhadap urusan yang besar dan menyibukkan diri dengannya bisa melupakan
urusan-urusan sekunder lain, seperti dunia dan kebutuhan individu di dalamnya.
Dengan demikian, ada baiknya seorang hamba di sini diperingatkan agar tidak
sibuk beribadah hingga membuatnya LUPA dari dunia dan kebutuhannya.
Lantaran
larut dalam ibadah kepada Allah, para penuntut akhirat melalaikan urusan dunia
dan kebutuhan mereka di dalamnya, lebih-lebih pada perhiasan-perhiasannya.
Sehingga, peringatan tersebut sesuai dengan kondisi mereka.
Abu
Hurairah, seorang shahabat yang selalu menyertai Rasulullah saw. untuk mengadopsi
ilmu beliau. Hal itu membuatnya lupa dengan dunianya. Lalu ia berkata kepada
para shahabatnya. “Kalian sibuk dengan
dunia, sedangkan aku sibuk menemani Rasulullah saw.”
DUNIA
MACAM APA yang menyibukkan para shahabat Rasulullah saw.? APA YANG AKAN
DIKATAKAN Abu Hurairah ra. seandainya
ia melihat kita??
Inilah
dia Haritsah ra. yang pernah ditanya oleh Rasulullah saw., “Bagaimanakah keadaanmu pada pagi hari, wahai
Haritsah?” Dia menjawab, “Pada pagi hari aku dalam keadaan mukmin sejati.” Nabi
bertanya lagi, “Aku ingin melihat apa yang engkau ucapkan, sebab setiap ucapan
itu memiliki hakikat. Lalu, bagaimanakah hakikat keimananmu?” Dia menjawab. “Aku telah MENJAUHKAN DIRIKU DARI DUNIA, lalu
aku gunakan malam untuk bergadang (shalat dan dzikir malam) dan siang hari
untuk berhaus-haus (puasa). Selain itu, seakan-akan aku melihat ‘Arsy
Rabb-ku Nampak jelas, dan seakan-akan aku melihat penduduk surga saling
berkunjung di dalamnya, serta seakan-akan aku melihat penduduk neraka sedang
berdesak-desakan di dalamnya”. Nabi berkata. “Wahai Haritsah, engkau telah
mengetahui maka tetapilah (komitmenlah)!”
Inilah
Ahmad bin Hambal, seorang ulama besar yang melaksanakan shalat sebanyak tiga ratus rakaat sehari semalam dan mengkhatamkan Al-Quranul Karim sekali dalam
setiap pekan.
Ia adalah sosok yang banyak berdoa, berdzikir, serta ditambah lagi dengan
kesibukannya menuntut ilmu dan mengajarkannya. Ahmad bin Hambal pernah berdoa,
“Ya Allah, janganlah Engaku menyibukkan
hati kami dengan hal-hal yang Engkau bebankan kepada kami.”
Dari Anas ra., bahwa ada tiga orang yang bahkan menganggap sedikit amal ibadah Nabi Muhammad saw.!,
Seorang dari mereka itu berkata: "Adapun
saya ini, maka saya bersembahyang semalam suntuk selama-lamanya." Yang
lainnya berkata: "Adapun saya, maka
saya berpuasa sepanjang tahun dan tidak pernah saya berbuka." Yang
seorang lagi berkata: "Adapun saya,
maka saya menjauhi para wanita, maka sayapun tidak akan kawin
selama-lamanya." (kandungan hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim)
Ketika Salman menanyakan pada istri Abuddarda yang hanya mengenakan pakaian
yang serba kusut – yakni tidak berhias sama sekali. Lalu istrinya menjawab, “Abuddarda' itu sudah tidak ada hajatnya lagi
pada keduniaan - maksudnya: sudah meninggalkan keduniaan, baik terhadap wanita
atau lain-lain."
Banyak pula
riwayat shahih mengenai Abdullah bin Al-'Ash, seorang yang berpuasa
setahun penuh dan mengkhatamkan
bacaan Al-Quran sekali setiap malam, sampai istrinya berkata, “ia tidak pernah menginjak
hamparan kita dan tidak pernah memeriksa tabir kita - maksudnya tidak pernah
berkumpul untuk menyetubuhi isterinya.”
Hingga mereka ditegur, “Tuhanmu itu
ada hak atas dirimu, untuk dirimu sendiri juga ada hak atasmu, untuk
keluargamupun ada hak atasmu. Maka berikanlah kepada setiap yang berhak itu
akan haknya masing-masing." Dalam suatu riwayat, ditegaskan bahwa
sekeras apapun kita beribadah, amal itu TETAP berpahala, Allah tetap senang
menerima, dan Allah tidak pernah bosan. Hingga justru kitalah yang akan bosan dan lelah, maka Rasulullah
menekankan bahwa yang dicintai Allah adalah istiqomahnya, maka lakukanlah yang
mana engkau sanggup istiqomah, meskipun sedikit, dimana semakin banyaknya akan menunjukkan ketinggian derajat
seseorang.
*Gambaran sosok seperti merekalah yang pantas mendapatkan teguran sebagaimana
dimaksud dalam Al-Qashash 77, dan bukan
orang seperti kita...
Karena sibuk beribadah, sebagian manusia ada yang lalai
dari mengurusi keluarga dan menyayangi mereka, sampai-sampai ada penekanan
terhadap mereka bahwa keluarga itu memiliki hak. SEMENTARA
BAGI
KITA, kita perlu orang yang mengingatkan akan tujuan luhur penciptaan kita
serta orang yang bisa
menyadarkan dengan keras agar kita mengingat akhirat.
(ditulis
dari Buku Rumus Masuk Surga – Cara Cerdas Memilih Amal Untuk Hasil Optimal hlm.
92-94 & 149 serta Hadits-Hadits dari Riyadhus Shalihin, sebagai
renungan mendalam bagi kita semua)
RESUME:
Firman "janganlah
kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” setidaknya menunjukkan:
[1] remehnya kehidupan dunia, sampai ada kemungkinan dilupakan, [2] bahwa makna
seimbang dunia akhirat tetap lebih
menitikberatkan dan lebih condong
kepada akhirat, dan [3] dunia hanya sarana bukan tujuan.
Ilustrasi:
Seorang ibu ingin pergi ke pasar membeli sembako, kemudian si ayah nitip untuk
membelikannya sesuatu. Sudah barang tentu sesuatu
tersebut dapat terlupakan,
namun hanya orang yang kurang berakal yang malah lupa tujuan awalnya untuk membeli sembako.
Hidup
seimbang yang haqq bukan berarti
dunia:akhirat adalah 50:50.
Tidak demikian, hidup seimbang adalah memberikan masing-masing sesuai haknya,
dimana hak Allah juga telah sedikit kami uraikan sebelumnya dalam tulisan MAKSUD ’50 SHALAT’. Sehingga kita sedar bahwa ternyata
kita masih belum mencapai hidup yang seimbang,
oleh karenanya
perjalanan waktu dan pelayaran hidup kita ini hendaknya semakin menuju titik
seimbang hingga sampai akhir hayatnya. Aamiin.
“Generasi sahabat sibuk beribadah sampai terlupa dunia
(tujuan sampingan), SEMENTARA BAGI KITA, kita perlu orang untuk mengingatkan
dan menyadarkan dengan keras akan tujuan utama penciptaan kita (akhirat).”
Astaghfirullaah
wa atuubuilaihi... 100x