LARANGAN
MENJADIKAN ORANG KAFIR SEBAGAI AULIYAA' (BAIK ITU SEBAGAI WALI, PELINDUNG,
PENOLONG, PEMIMPIN, YANG DIIKUTI, TEMAN SETIA, YANG DICINTAI)
Sumber: Tafsir Ibnu Katsir, Asbabun Nuzul
- Tafsir Ibnu
Katsir Surah Ali ‘Imraan ayat 28
- Tafsir Ibnu
Katsir Surah An-Nisaa’ ayat 88-91
- Tafsir Ibnu
Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 51-53
- Tafsir Ibnu
Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 57-58
- Tafsir Ibnu
Katsir Surah Al-Maa-idah ayat 78-81
- Tafsir
Ibnu Katsir Surah At-Taubah / Al-Bara’ah ayat 23-24
- Tafsir Ibnu Katsir
Surah Al-Mumtahanah (1)
“Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah kecuali karena [siasat] memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkanmu terhadap diri [siksa]-Nya. Dan hanya kepada
Allah kembali[mu.” (QS. 3:28)
Allah swt. melarang hamba-hamba-Nya
yang beriman untuk mengangkat orang-orang kafir sebagai wali dan pemimpin
dengan kecintaan kepada mereka dan mengabaikan orang-orang yang beriman.
Selanjutnya Allah mengancam perbuatan itu seraya berfirman: wa may yaf’al
dzaalika falaisa minallaaHi min syai-in (“Barangsiapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah dari pertolongan Allah.”) Artinya, barangsiapa melanggar larangan
Allah tersebut, maka ia benar-benar terlepas dari Allah, sebagaimana firman
Allah yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin.
Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian lainnya. Barangsiapa di antara
kamu menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka.” (QS. Al-Maa-idah: 51)
Sebagaimana Allah berfirman setelah menyebutkan loyalitas (kesetiaan antara) orang-orang mukmin dari kalangan Muhajirin, Anshar dan orang-orang Arab Badui, “Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (wahai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 73)
Sebagaimana Allah berfirman setelah menyebutkan loyalitas (kesetiaan antara) orang-orang mukmin dari kalangan Muhajirin, Anshar dan orang-orang Arab Badui, “Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (wahai kaum muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfaal: 73)
Dan firman-Nya, illaa an tattaquu
minHum tuqaatan (“Kecuali karena [siasat] memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka.”) Maksudnya, kecuali bagi orang yang berada di suatu negeri
dan pada waktu tertentu, merasa takut terhadap kejahatan orang-orang kafir,
maka baginya diperbolehkan bersiasat kepada mereka secara lahirnya raja, bukan
secara bathin dan niatnya. Sebagaimana Imam al-Bukhari meriwayatkan dart Abud
Darda’, ia berkata: “Sesungguhnya kami menampakkan wajah cerah kepada beberapa
orang kafir, sedang hati kami melaknat mereka.”
Sedangkan ats-Tsauri mengatakan,
Ibnu ‘Abbas berkata: “Taqiyyah (bersiasat dalam usaha melindungi diri) itu
bukan dengan amal, melainkan dengan lisan.” Demikian pula diriwayatkan oleh
al-‘Aufi dart Ibnu ‘Abbas bahwa taqiyyah itu dengan lisan.
Hal yang lama juga dikatakan Abul
`Aliyah, Abu Sya’tsa’, adh-Dhahhak, dan ar-Rabi’ bin Anas. Pendapat mereka itu
diperkuat oleh firman Allah, “Barangsiapa kafir kepada Allah sesudah ia beriman
(mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir pedahal hatinya
tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa).” (QS. An-Nisaa’: 106)
Imam al-Bukhari mengatakan, al-Hasan
berkata: “Taqiyyah itu berlaku sampai hari Kiamat kelak.”
Setelah itu Dia berfirman, wa
yuhadzdzirukumullaaHu nafsaHu (“Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa)-Nya.”) Dengan kata lain, Allah memperingatkan kalian akan siksa-Nya di
dalam penentangan terhadap-Nya dan adzab-Nya bagi orang-orang yang menjadikan
musuh-Nya sebagai wali, dan memusuhi para wali-Nya. Selanjutnya Dia berfirman,
wa ilallaaHil mashiir (“Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” yaitu kepada-Nya
tempat kembali untuk diberikan balasan bagi setiap orang atas amal yang
diperbuatnya.
28. “Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali[192] dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya
kepada Allah kembali (mu).”
(Ali ‘Imraan: 28)
(Ali ‘Imraan: 28)
[192] Wali jamaknya auliyaa: berarti
teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari
Sa’id atau ‘Ikrimah, yang bresumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa Al-Hajjaj bin ‘Amr
yang mewakili Ka’b bin al-Asyraf, Ibnu Abil Haqiq, serta Qais bin Zaid
(tokoh-tokoh Yahudi) telah memikat segolongan kaum Anshar untuk memalingkan
mereka dari agamanya. Rifa’ah bin al-Mundzir, ‘Abdullah bin Jubair serta Sa’d bin
Hatsamah memperingatkan orang-orang Anshar tersebut dengan berkata:
“Hati-hatilah kalian dari pikatan mereka, dan janganlah terpaling dari agama
kalian.” Mereka menolak peringatan tersebut. Maka Allah menurunkan ayat
tersebut di atas (Ali ‘Imraan: 28) sebagai peringatan agar tidak mmenjadikan
orang-orang kafir sebagai pelindung kaum Mukminin.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam
(menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka pada
kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi
petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang telah
disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi
petunjuk) kepadanya. (QS. 4:88) Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir,
sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).
Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga
mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawanlah dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya dan janganlah kamu ambil seorang
pun di antara mereka menjadi pelindung dan jangan (pula) menjadi penolong, (QS.
4:89) kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum, yang
antara kamudan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang
datang kepadamu, sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangimu dan
memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Allah memberi ke-kuasaan
kepada mereka terhadapmu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka
membiarkanmu, dan tidak memerangimu, serta mengemukakan perdamaian kepadamu,
maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka. (QS.
4:90) Kelak kamu akan dapati (golongan-golongan) yang lain, yang bermaksud
supaya mereka aman dari padamu dan aman (pula) dari kaumnya. Setiap mereka
diajak kembali kepada fitnah (syirik), mereka pun terjun ke dalamnya. Karena
itu, jika mereka tidak membiarkanmu dan (tidak) mau mengemukakan perdamaian
kepadamu, serta (tidak) menahan tangan mereka (dari memerangimu), maka tawanlah
mereka dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemui mereka dan merekalah
orang-orang yang kami berikan kepadamu alasan yang nyata (untuk menawan dan
membunuh) mereka. (QS. 4:91)” (an-Nisaa’:
88-91)
Allah berfirman, mengingkari kaum
mukminin dalam perselisihan mereka tentang orang-orang munafik yang terbagi
menjadi dua pendapat. Dan diperselisihkan tentang sebabnya.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Zaid
bin Tsabit, bahwa Rasulullah keluar menuju perang Uhud, lalu orang-orang
kembali, yang tadinya sudah keluar bersamanya. Tentang mereka itu, Sahabat
Rasulullah terbagi dua kelompok. Kelompok pertama mengatakan: “Kita bunuh
mereka,” sedangkan kelompok yang lain mengatakan: “Tidak perlu, mereka adalah
kaum mukminin.”
Lalu Allah turunkan: famaa lakum fil
munaafiqiina fiataini (“Maka mengapa kamu [terpecah] menjadi dua golongan dalam
[menghadapi] orang-orang munafik.”)
Rasulullah bersabda:”Sesungguhnya ia (Madinah) itu adalah kebaikan. la akan membersihkan keburukan sebagaimana alat peniup api pandai besi membersihkan kotoran besi.” (Dikeluarkan oleh ash-Shahihain).
Rasulullah bersabda:”Sesungguhnya ia (Madinah) itu adalah kebaikan. la akan membersihkan keburukan sebagaimana alat peniup api pandai besi membersihkan kotoran besi.” (Dikeluarkan oleh ash-Shahihain).
Dan firman Allah: wallaaHu arkasaHum
bimaa kasabuu (“Padalah Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran
disebabkan usaha mereka sendiri”.) Yaitu, mengembalikan mereka dan menjatuhkan
mereka dalam kesalahan.
Ibnu `Abbas berkata: arkasaHum;
yaitu menjerumuskan mereka. Qatadah berkata: “Mem-binasakan mereka,” sedangkan
as-Suddi berkata: “Menyesatkan mereka.”
Dan firman-Nya: bimaa kasabuu; yaitu
dengan sebab kemaksiatan dan penentangan mereka kepada Rasul serta ikutnya
mereka kepada kebathilan.
Aturiiduuna an taHduu man
adlallallaaHu wa may yudl-lilillaaHu falan tajida laHuu sabiilan (“Apakah kamu
bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah?
Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan
[untuk memberi petunjuk] kepadanya.”) Yaitu, tidak ada jalan baginya menuju
hidayah serta tidak ada jalan keluar (dari kesesatan) kepadanya (hidayah).
Firman-Nya: wadduu lau takfuruuna
kamaa kafaruu fatakuunuuna sawaa-an (“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir,
sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama [dengan
mereka]”.) Yaitu mereka menginginkan kesesatan bagi kalian, agar kalian sama
dengan mereka dalam kesesatan. Untuk itu Allah berfirman: fa laa tattakhidzuu
minHum auliyaa-a hattaa yuHaajiruu fii sabiilillaaHi fa in tawallau (“Maka
janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong [mu], hingga mereka
berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling.”) Yaitu mereka
meninggalkan hijrah sebagaimana yang dikatakan oleh al-‘Aufi dari Ibnu `Abbas.
Sedangkan as-Suddi mengatakan bahwa,
mereka menampakkan kekafiran mereka; fakhudzuuHum faqtuluuHum haitsu
wajadtumuuHum walaa tattakhidzuu minHum waliyyaw walaa nashiiran (“Tawandan
bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya dan janganlah kamu jadikan seorang
pun di antara mereka menjadi pelindung dan jangan [pula] menjadi penolong.”)
Yaitu, janganlah kalian berpihak dan minta tolong kepada mereka terhadap
musuh-musuh Allah, selama mereka bersikap demikian.
Kemudian Allah mengecualikan di antara
mereka dengan firman-Nya: illalladziina yashiluuna ilaa qaumim bainakum wa
bainaHum miitsaaq (“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu
kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian [damai”.) Yaitu,
kecuali orang-orang yang berlindung atau meminta bantuan kepada suatu kaum yang
di antara kalian dan mereka ada perjanjian damai, atau akad dzimmah, maka
hukumnya sama dengan hukum kaum tersebut. Inilah pendapat as-Suddi, Ibnu Zaid,
dan Ibnu Jarir. Dan hal ini (pendapat ini) lebih sesuai dengan konteks
pembicaraan.
Di dalam kitab Shahih al-Bukhari
tentang kisah perjanjian Hudaibiyah, terdapat orang yang senang masuk dalam
perjanjian damai Quraisy, dan ada pula yang senang masuk dalam perjanjian damai
Muhammad dan para Sahabatnya.
Firman Allah: au jaa-uukum hashiirat
shuduuruHum (“Atau orang-orang yang datang kepadamu, sedang hati mereka merasa
keberatan.”) Mereka adalah kaum lain yang dikecualikan dari perintah untuk
diperangi. Mereka adalah orang-orang yang datang ke dalam barisan dalam keadaan
sempit dada dan marah jika kalian diperangi. Akan tetapi, mereka pun tidak
mudah bergabung bersama kalian untuk memerangi kaum mereka sendiri. Mereka
tidak ada dipihak kalian juga tidak dipihak mereka,
Wa lau syaa-allaaHu lasallathaHum
‘alaikum faqaataluukuum (“Kalau Allah menghendaki, tentu Allah memberi
kekuasaan kepada mereka terhadapmu, lalu pastilah mereka memerangimu.”) Yaitu
di antara kasih sayang-Nya kepada kalian adalah ditahannya mereka dari kalian.
Fa ini’tazaluukum falam yuqaatiluukum wa alqau ilaikumus salama (“Tetapi jika
mereka membiarkanmu, dan tidak memerangimu serta mengemukakan perdamaian
kepadamu.”) Yaitu, menyerah,
Famaa ja’alallaaHu lakum ‘alaiHim
sabiilan (“Maka Allah tidak memberi jalan bagimu terhadap mereka”.) Yaitu,
tidak boleh bagi kalian memerangi mereka, selama mereka berada dalam kondisi
tersebut. Mereka seperti sekelompok orang dari Bani Hasyim yang keluar pada
perang Badar bersama orang-orang musyrik. Lalu mereka bertempur, padahal mereka
membencinya, seperti `Abbas dan lain-lain. Untuk itu, Nabi saw. pada waktu itu
melarang untuk membunuh `Abbas, dan memerintahkan untuk menawannya.
Dan firman-Nya: satajiduuna
aakhariina yuriiduuna ay ya’manuukum wa ya’manuu qaumaHum (“Kelak kamu akan
dapati [golongan-golongan] yang lain, yang bermaksud supaya mereka aman
daripadamu, dan aman [pula] dari kaumnya.”) Mereka -dalam bentuk fisik- sama
dengan yang disebutkan sebelum mereka, akan tetapi niat mereka bukan seperti
niat mereka tadi. Karena mereka adalah kaum munafik yang menampakkan Islam
kepada Nabi dan para Sahabatnya, agar mereka mendapatkan keamanan atas darah,
harta dan keturunan mereka. Dan mereka berbuat seperti perbuatan orang kafir
dalam bathin mereka, beribadah bersama apa saja yang diibadahi mereka, agar
mereka aman di kalangan mereka (orang-orang kafir). Sesungguhnya dalam bathin
mereka bersama orang-orang kafir.
Sebagaimana firman Allah: “Dan bila
mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka menggtakan:`Sesungguhnya
kami sependirian denganmu.’” (QS. Al-Baqarah: 14). Dan di sini Allah berfirman:
kulla maa rudduu ilal fitnati urkisuu fiiHaa (“Setiap mereka diajak kembali
kepada fitnah [syirik], mereka pun terjun ke dalamnya.”) Yaitu mereka
bergelimang di dalamnya. As-Suddi berkata: “Fitnah di sini adalah syirik.”
Allah berfirman: fa il lam
ta’taziluukum wa yulquu ilaikumus salama (“Karena itu, jika mereka tidak
membiarkanmu dan [tidak] mau mengemukakan perdamaian kepadamu.”) Perjanjian
menghentikan perang dan perdamaian; wa yakuffuu aidiyaHum (“Serta tidak menahan
tangan mereka.”) Yaitu dari memerangimu; fakhudzuuHum (“Maka ambillah mereka.”)
Sebagai tawanan; waqtuluuHum haitsu tsaqiftumuuHum (“Dan bunuhlah mereka di
mana saja kamu menemui mereka.”) Yaitu di mana saja kalian menjumpai mereka.
Wa ulaa-ikum ja’alnaa lakum ‘alaiHim suthaanam mubiinan (“Dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata [untuk menawan dan membunuh] mereka.”) Yaitu jelas dan terang.
Wa ulaa-ikum ja’alnaa lakum ‘alaiHim suthaanam mubiinan (“Dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepadamu alasan yang nyata [untuk menawan dan membunuh] mereka.”) Yaitu jelas dan terang.
88. “Maka Mengapa kamu (terpecah)
menjadi dua golongan[328] dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah
Telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ?
apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang Telah disesatkan
Allah[329]? barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak
mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya.”
(an-Nisaa’: 88)
(an-Nisaa’: 88)
[328] Maksudnya: golongan
orang-orang mukmin yang membela orang-orang munafik dan golongan orang-orang
mukmin yang memusuhi mereka.
[329] disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. dalam ayat ini, Karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi sesat.
[329] disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. dalam ayat ini, Karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi sesat.
Diriwayatkan oleh asy-Syaikhaan
(al-Bukhari dan Muslim) dan lain-lain, yang bersumber dari Zaid bin Tsabit
bahwa ketika Rasulullah saw. berangkat perang Uhud, sebagian dari pasukannya
pulang kembali ke Madinah. Di kalangan para shahabat timbul dua pendapat,
sebagian mengatakan agar orang yang mengundurkan diri itu dibunuh dan sebagian
lagi melarangnya. Maka Allah menurunkan ayat ini (an-Nisaa’: 88) sebagai
teguran agar tidak berselisih dalam menghadapi kaum munafik yang jelas kekafirannya.
Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur
dan Ibnu Abi Hatim, yang bersumber dari Sa’d bin Mu’adz bahwa ketika Rasulullah
saw. berkhotbah, yang di antara sabdanya: “Siapakah pembelaku terhadap
orang-orang yang berbuat jahat dan berkomplot merencanakan kejahatan
terhadapku?” Berkatalah Sa’d bin Mu’adz: “Jikalau ia dari golonganku (Aus),
kami yang akan membasminya, dan jika ia dari kalangan Khazraj, tuan perintahkan
kepada kami, dan kami akan melaksanakannya.” Berdirilah Sa’ad bin ‘Ubadah (Bani
Khazraj): “Apa urusanmu menyebut-nyebut taat kepada Rasulullah saw., hai Ibnu
Muadz. Padahal engkau tahu bahwa itu bukan urusanmu saja.” Berdirilah Usaid bin
Khudlair dan berkata: “Apakah engkau ini seorang munafi dan mencintai
orang-orang munafik, hai Ibnu ‘Ubadah?” Berdirilah Muhammad bin Muslimah dan
berkata: “Diamlah kalian, di hadapan kita ada Rasulullah saw. yang berhak
memberi perintah dan kita melaksanakannya.” Maka turunlah ayat ini (an-Nisaa’:
88) sebagai peringatan untuk tidak berselisih dalam menghadapi kaum munafik.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
An-Nisaa’, ayat: 137-140
-Tidak ada taubat bagi orang yang murtad untuk kedua kaiinya dan semakin bertambah kekufurannya setelah itu
-Ancaman bagi orang-orang munafik dan orang-orang kafir
-Larangan untuk duduk bersama orang-orang yang sedang mengingkari dan mengolok-olok ayat Allah
An-Nisaa’, ayat: 141
-Sebagian sifat orang-orang munafik
An-Nisaa’, ayat: 142-143
-Di antara sifat lainnya dari orang-orang munafik
An-Nisaa’, ayat: 144-147
-Larangan untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai wali
-Adzab Allah bagi orang-orang munafik.
-Allah memaafkan bagi orang munafik yang bertaubat, lalu memperbaiki diri, berpegang teguh kepada Allah ikhlaskan agamanya kepada Allah
-Tidak ada taubat bagi orang yang murtad untuk kedua kaiinya dan semakin bertambah kekufurannya setelah itu
-Ancaman bagi orang-orang munafik dan orang-orang kafir
-Larangan untuk duduk bersama orang-orang yang sedang mengingkari dan mengolok-olok ayat Allah
An-Nisaa’, ayat: 141
-Sebagian sifat orang-orang munafik
An-Nisaa’, ayat: 142-143
-Di antara sifat lainnya dari orang-orang munafik
An-Nisaa’, ayat: 144-147
-Larangan untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai wali
-Adzab Allah bagi orang-orang munafik.
-Allah memaafkan bagi orang munafik yang bertaubat, lalu memperbaiki diri, berpegang teguh kepada Allah ikhlaskan agamanya kepada Allah
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim. (QS.
5:51) Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya
(orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya
berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana.’ Mudah-mudahan Allah akan
mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau suatu keputusan dari sisi-Nya.
Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan
dalam diri mereka. (QS. 5:52) Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan:
‘Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah,
bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?’ Rusak binasalah segala amal
mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (QS. 5:53)” (al-Maa-idah: 51-53)
Allah Tabaraka wa Ta ala melarang
hamba-hamba-Nya yang beriman mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai
pemimpin mereka, karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan musuh para
pemeluknya, semoga Allah membinasakan mereka. Selanjutnya’Allah Ta’ala
memberitahu-kan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian lainnya.
Dan setelah itu Allah mengancam, dan menjanjikan siksaan bagi orang yang
mengerjakan hal tersebut.
Allah berfirman: wa may yatawallaHum
minkum fa innaHuu minHum (“Barang-siapa di antara kamu mengambil mereka sebagai
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.”) Ibnu Abi
Hatim mengatakan dari ‘Iyadh, “Bahwa ‘Umar pernah menyuruh Abu Musa al-Asy’ari
untuk melaporkan kepadanya pemasukan dan pengeluaran (yang dicatat) pada
selembar kulit yang telah disamak.
Pada waktu itu, Abu Musa al-Asy’ari
mempunyai seorang sekretaris beragama Nasrani. Kemudian sekretarisnya itu
menghadap `Umar untuk memberikan laporan, maka `Umar sangat kagum seraya
berujar, `Ia benar-benar orang yang sangat teliti. Apakah engkau bisa
membacakan untuk kami di masjid, satu surat yang baru kami terima dari Syam.’ Maka
Abu Musaal-Asy’ari mengatakan, bahwa ia tidak bisa. Maka `Umar bertanya:
`Apakah ia junub?’ Ia menjawab: `Tidak, tetapi ia seorang Nasrani.’
Maka `Umar pun menghardikku dan
memukul pahaku, lalu berkata: `Keluarkanlah orang itu.’ Selanjutnya ‘Umar
membaca: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tattakhidzuu yaHuuda wan nashaaraa
auliyaa’ (“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin pemimpin[mu]/sahabat karib.”)
Firman Allah: fa taral ladziina fii
quluubiHim maradlun (“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit di
dalam hatinya.”) Yaitu berupa keraguan dan kemunafikan. Mereka dengan cepat
mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin (kerabat), dan
mencintai mereka, baik secara lahir maupun batin.
Yaquuluuna nakhsyaa an tushiibanaa
daa-iratun (“Seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana.’”) Mereka
melakukan hal itu, yaitu dalam kecintaan dan loyalitas mereka adalah karena
mereka takut akan terjadinya kemenangan kaum kafir atas kaum muslimin, jika hal
ini terjadi, maka mereka mendapatkan perlindungan dari Yahudi dan Nashrani,
maka hal itu bermanfaat bagi mereka. Mengenai hal tersebut Allah berfirman: fa
‘asallaaHu ay ya’tiya bil fat-hi (“Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan
[kepada Rasul-Nya].”)
As-Suddi mengatakan: “Yaitu Fathu
Makkah (pembebasan kota Makkah).” Sedangkan ulama lainnya menafsirkan: “Yaitu
ketetapan dan keputusan.”
Au amrim min ‘indiHii (“Atau suatu
keputusan dari sisi-Nya.”) As-Suddi berkata: “Yaitu berupa pemberlakuan jizyah
terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Fa yushbihuu (“Maka karena itu,
mereka.”) Yakni orang-orang munafik yang mengangkat orang-orang Yahudi dan
Nasrani sebagai pemimpin. ‘alaa maa asarruu fii anfusiHim (“Terhadap apa yang mereka
rahasiakan dalam diri mereka.”) Yaitu atas pengangkatan orang-orang Yahudi dan
Nasrani sebagai pemimpin. Naadimiin (“Menyesal.”) Yaitu atas tindakan mereka,
di mana mereka tidak mendapatkan sesuatu pun dari mereka (orang-orang Yahudi
dan Nasrani), bahkan mereka pun tidak memperoleh perlindungan, justru mereka
malah mendapatkan keburukan dari mereka.
Maka rahasia mereka pun terungkap
dan Allah pun memperlihatkan urusan mereka di dunia kepada orang-orang mukminin
setelah sebelumnya urusan itu mereka rahasiakan, di mana tidak ada seorang pun
yang mengetahui keadaan mereka sebenarnya. Tatkala rahasia mereka terbongkar,
orang-orang mukmin pun melihat secara jelas jati diri mereka yang sesungguhnya.
Maka mereka pun merasa heran, bagaimana mereka memperlihatkan bahwa mereka
orang-orang yang beriman, bahkan bersumpah untuk itu. Maka tampaklah dengan
jelas kebohongan dan kemunafikan mereka itu.
Oleh karena itu Allah Ta’ala
berfirman: wa yaquulul ladziina aamanuu a Haa-ulaa-il ladziinaqsamuu billaaHi
jaHda aimaaniHim innaHum lama’akum habithat a’maaluHum fa ash-bahuu khaasiriin
(“Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: `Inikah orang-orang yang
bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar
beserta kamu?’ Hapuslah semua amal perbuatan mereka, lalu mereka menjadi
orang-orang yang merugi.”)
Para ahli tafsir berbeda pendapat
mengenai sebab turunnya ketiga ayat tersebut di atas. As-Suddi menyebutkan,
“Bahwa ayat-ayat itu turun berkenaan dengan dua orang yang salah satunya
berkata kepada yang lainnya, yaitu setelah terjadinya perang Uhud: `Adapun aku,
sesungguhnya aku akan pergi kepada orang Yahudi dan berlindung kepadanya, serta
memeluk agama Yahudi bersamanya, mudah-mudahan dia akan bermanfaat bagiku jika
terjadi sesuatu.’ Sedangkan yang lainnya berkata: `Adapun aku, aku akan pergi
kepada si Fulan yang beragama Nasrani di Syam, lalu aku berlindung kepadanya
dan memeluk agama Nasrani bersamanya.’ Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat: yaa
ayyuHal ladziina aamanuu laa tattakhidzuu yaHuuda wan nashaaraa auliyaa’ (“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin[mu]/sahabat karib.”)
Muhammad bin Ishaq mengatakan dari
‘Ubadah bin al-Walid bin Ubadah bin Shamit, ia berkata: “Ketika bani Qainuqa’
memerangi Rasulullah saw, ‘Abdullah bin Ubay berpihak pada mereka dan mendukung
mereka. Kemudian Ubadah bin Shamit pergi menuju Rasulullah, ‘Ubadah bin Shamit
adalah salah seorang dari Bani ‘Auf bin al-Khazraj yang terikat perjanjian
dengan orang-orang Yahudi, seperti misalnya Bani Qainuga’ yang menjadi mitra
‘Abdullahbin ‘Ubay. Lalu ‘Ubadah menyuruh Bani ‘Auf supaya menghadap Rasulullah
dan melepaskan diri dari sumpah orang-orang Yahudi dan Nasrani, untuk
selanjutnya menuju kepada Allah dan Rasul-Nya. `Ubadah berkata: “Ya Rasulullah,
aku melepaskan dini dari sumpah mereka dan bertolak menuju Allah dan Rasul-Nya.
Dan aku hanya menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin sebagai
penolong, dan aku melepaskan diri dari sumpah orang-orang kafir dan perwalian
kepada mereka.”
Maka berkaitan dengan’Ubadah bin
Shamit dan juga Abdullah bin ‘Ubay turunlah ayat-ayat di dalam surat
al-Maa-idah: yaa ayyuHal ladziina aamanuu laa tattakhidzuu yaHuuda wan
nashaaraa auliyaa-a ba’dluHum auliyaa-u ba’dlin…. wa may yatawallallaaHa wa
rasuulaHuu wal ladziina aamanuu fa inna hizballaaHi Humul ghaalibuun (“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin pemimpin[mu]/sahabat karib. Sebahagian mereka adalah pemimpin
bagi sebahagian yang lain. -sampai dengan firman-Nya- Dan barangsiapa mengambil
Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
sesungguhnya pengikut [agama] Allah itulah yang pasti menang.”)
51. “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.”
(al-Maa’idah: 51)
(al-Maa’idah: 51)
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu
Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Baihaqi, yang bersumber dari ‘Ubadah bin
ash-Shamit bahwa ‘Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh munafik Madinah) dan
‘Ubadah bin ash-Shamit (salah seorang tokoh Islam dari Bani ‘Auf bin Khazraj)
terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa’.
Ketika Bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah saw.. ‘Abdullah bin Ubay tidak
melibatkan diri. Sedangkan ‘Ubadah bin ash-Shamit berangkat menghadap Rasulullah
saw. untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatannya dengan
Bani Qainuqa’ itu , serta menggabungkan diri bersama Rasulullah dan menyatakan
hanya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 51)
yang mengingatkan orang yang beriman untuk tetap taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan tidak mengangkat kaum Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin
mereka.
55. “Sesungguhnya penolong kamu
hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).”
(al-Maa’idah: 55)
(al-Maa’idah: 55)
Diriwayatkan oleh ath-Thabarani di
dalam kitab al-Ausath-dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak dikenal- yang
bersumber dari ‘Ammar bin Yasir. Hadits ini diperkuat oleh hadits-hadits: 1.
Yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dari ‘Abdulwahhab bin Mujahid, dari
bapaknya, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. 2. Yangdiriwayatkan oleh Ibnu
Marduwaih melalui rawi lain, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas. 3. Yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mardiwaih yang bersumber dari ‘Ali. 4. Yang diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir dari Mujahid, dari Inu Abi Hatim, yang bersumber dari Salamah
bin Kuhail. Hadits-hadits tersebut saling menguatkan. Bahwa ketika seorang
peminta-minta datang kepada ‘Ali bin Abi Thalib yang pada waktu itu sedang
shalat tathawwu’ (sunat), ia tanggalkan cincinnya dan menyerahkannya kepada si
peminta-minta. Maka turunlah ayat ini (al-Maa-idah: 55) yang mengemukakan
beberapa ciri pemimpin yang wajib ditaati.
57. “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi
buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang Telah diberi
Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan
bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.”
(al-Maa’idah: 57)
(al-Maa’idah: 57)
59. Katakanlah: “Hai ahli kitab,
apakah kamu memandang kami salah, Hanya lantaran kami beriman kepada Allah,
kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan
sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik
?”
(al-Maa’idah: 59)
(al-Maa’idah: 59)
Diriwayatkan oleh Abusy Syaikh dan
Ibnu Hibban, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rifa’ah bin Zaid bin
at-Tabut dan Suwaid bin al-Harits memperlihatkan keislaman, padahal sebenarnya
mereka itu munafik. Salah seorang dari kaum Muslimin bersimpati kepada kedua
orang itu. Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 57) yang melarang kaum
Muslimin mengangkat kaum munafik sebagai pemimpin mereka.
Selanjutnya Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa serombongan kaum Yahudi, di antaranya Abu Yasir bin Akhthab, Nafi’ bin Abi Nafi’, dan Ghazi bin ‘Amr datang menghadap Nabi saw. dan bertanya: “Kepada rasul yang mana tuan beriman?” Nabi menjawab: “Aku beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa, dan kepada apa-apa yang diberikan kepda nabi-nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan hanya kepada-Nya lah kami berserah diri.” (Ali’Imraan: 84). Ketika Nabi menyebut nama ‘Isa, mereka mengingkari kenabiannya dan berkata: “Kami tidak percaya kepada ‘Isa dan tidak percaya kepada orang yang beriman kepada ‘Isa.” Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 59) berkenaan dengan peristiwa tersebut. Ayat tersebut merupakan teguran kepada orang-orang yang membenci Rasulullah karena beriman kepada rasul-rasul dan apa-apa yang diturunkan kepada mereka sebelumnya.
Selanjutnya Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa serombongan kaum Yahudi, di antaranya Abu Yasir bin Akhthab, Nafi’ bin Abi Nafi’, dan Ghazi bin ‘Amr datang menghadap Nabi saw. dan bertanya: “Kepada rasul yang mana tuan beriman?” Nabi menjawab: “Aku beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa, dan kepada apa-apa yang diberikan kepda nabi-nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan hanya kepada-Nya lah kami berserah diri.” (Ali’Imraan: 84). Ketika Nabi menyebut nama ‘Isa, mereka mengingkari kenabiannya dan berkata: “Kami tidak percaya kepada ‘Isa dan tidak percaya kepada orang yang beriman kepada ‘Isa.” Maka Allah menurunkan ayat ini (al-Maa-idah: 59) berkenaan dengan peristiwa tersebut. Ayat tersebut merupakan teguran kepada orang-orang yang membenci Rasulullah karena beriman kepada rasul-rasul dan apa-apa yang diturunkan kepada mereka sebelumnya.
Sumber: asbabun nuzul, KHQ Shaleh
dkkk
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi
pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan,
(yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang
yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu
betul-betul orang-orang yang beriman. (QS. 5:57) Dan apabila kamu menyeru
(mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan
permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak
mau mempergunakan akal. (QS. 5:58)” (al-Maa-idah: 57-58)
Yang demikian itu merupakan
peringatan agar kaum muslimin tidak berlindung kepada musuh-musuh Islam, dan
sekutunya dari kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum musyrikin
yang menjadikan syari’at Islam yang suci, muhkam (tegas), dan mencakup segala
kebaikan dunia dan akhirat, sebagai bahan ejekan dan permainan menurut
keyakinan dan pandangan mereka yang rusak, dan fikiran mereka yang beku. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh seorang penyair:
Berapa banyak orang yang mencela
ucapan yang benar.
Sebenarnya hal itu berpangkal dari pemahaman yang salah.
Sebenarnya hal itu berpangkal dari pemahaman yang salah.
Firman Allah: minal ladziina uutul
kitaaba min qablikum wal kuffaara (“[Yaitu] di antara orang-orang yang telah
diberi kitab sebelummu, serta orang-orang yang kafir [orang-orang musyrik]”)
Kata “min” (dari), dalam penggalan ayat ini dimaksudkan untuk menerangkan
jenis, hal itu sama seperti firman-Nya yang artinya:
“Maka jauhilah olehmu yang najis itu dari jenis berhala.” (QS. Al-Hajj: 30). Yang dimaksud “orang-orang kafir” di sini adalah orang-orang musyrik.
“Maka jauhilah olehmu yang najis itu dari jenis berhala.” (QS. Al-Hajj: 30). Yang dimaksud “orang-orang kafir” di sini adalah orang-orang musyrik.
Firman-Nya: wattaqullaaHa in kuntum
mu’miniin (“Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang
beriman.”) Maksudnya, takutlah kepada Allah dari menjadikan musuh-musuh kalian
dan agama kalian sebagai pelindung, jika kalian memang benar-benar orang-orang
yang beriman kepada syari’at Allah, yang mereka (musuh-musuh Islam) telah
menjadikannya sebagai bahan ejekan dan permainan.
Firman-Nya lebih lanjut: wa idzaa
naadaitum ilash shalaatit takhadzuuHaa Huzuwaw wala’iban (“Dan apabila kamu
menyeru [mereka] untuk [mengerjakan] shalat, mereka menjadikannya buah ejekan
dan permainan.”) Artinya, demikian pula halnya jika kalian menyeru mereka untuk
mengerjakan shalat, yang merupakan amal paling baik menurut orang-orang yang
berakal dan berpengetahuan dari mereka yang mempunyai hati nurani,
ittakhadzuuHaa (“Mereka
menjadikannya.”) Juga sebagai: Huzuwaw wala’iban dzaalika bi-annaHum qaumul laa
ya’qiluun (“Buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka
benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.”) Yaitu tidak memahami
makna-makna ibadah kepada Allah dan syari’at-syari’at-Nya, dan itulah
sifat-sifat para pengikut syaitan.
“Jika syaitan mendengar seruan
adzan, maka ia berpaling sambil kentut, sehingga tidak mendengar seruan adzan
tersebut. Dan jika adzan itu telah selesai, maka ia datang lalu menggoda
seseorang yang sedang shalat. Dan apabila diiqamah-kan untuk shalat, ia pun
pergi. Dan bila iqamah telah selesai, syaitan pun datang lagi, lalu membisikkan
kepada hati seseorang, ia berkata: “Ingatlah hal ini dan hal itu, ” terhadap
sesuatu yang belum diingat, sehingga orang itu tidak mengetahui berapa raka’at
yang sudah ia kerjakan. Oleh karena itu, apabila salah seorang di antara kalian
mendapatkan hal seperti itu, maka hendaklah ia bersujud (sahwi) dua kali
sebelum mengucapkan salam.” (Muttafaqunalaihi).
Az-Zuhri mengatakan, “Allah Ta’ala
telah menyebutkan masalah adzan (seruan untuk shalat) ini dalam kitab-Nya: wa
idzaa naadaitum ilash shalaatit takhadzuuHaa Huzuwaw wala’iban dzaalika
bi-annaHum qaumul laa ya’qiluun (“Dan apabila kamu menyeru [mereka] untuk
[mengerjakan] shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang
demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan
akal. ” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim).
Mengenai firman Allah: wa idzaa
naadaitum ilash shalaatit takhadzuuHaa Huzuwaw wala’iban (“Dan apabila kamu
menyeru [mereka] untuk [mengerjakan] shalat, mereka menjadikannya buah ejekan
dan permainan.”) Asbath mengatakan dari as-Suddi, ia berkata: “Ada seorang
Nasrani di Madinah. Jika mendengar seseorang menyerukan (adzan), ‘Aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah Rasulullah,’ maka ia berkata: ‘Mudah-mudahan pendusta itu
terbakar.’ Pada suatu malam, ada seorang pelayannya yang masuk ke dalam rumah
dengan membawa api, ketika ia dan keluarganya sedang tidur. Kemudian ada
percikan api yang jatuh, lalu mem-bakar rumah sehingga orang Nasrani dan
keluarganya pun terbakar.” (Di-riwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim).
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil melalui lisan
Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan
selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan
mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka
perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong Dengan
orang-orang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka
sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka
akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada nabi
dan kepada apa yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan mengambil
orang-orang musyrik itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka
adalah orang-orang yang fasik.” (al-Maa-idah:
78-81)
Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia
telah melaknat orang-orang kafir dari kaum Bani Israil dalam masa yang cukup
lama, yaitu melalui apa yang Dia turunkan kepada nabi-Nya, yaitu Nabi Daud
a.s.; dan melalui lisan Isa putra Maryam, karena mereka durhaka kepada Allah
dan bertindak sewenang-wenang terhadap makhlukNya.
Al-Aufi menceritakan dari Ibnu
Abbas, bahwa mereka dilaknat dalam Taurat, Injil, Zabur, dan AlFurqan
(AlQur’an). Kemudian Allah menjelaskan perihal yang biasa mereka lakukan di
masanya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
Kaanuu laa yatanaaHauna ‘am munkarin
fa’aluuHu, labi’sa maa kaanuu yaf’aluun (“Mereka satu sama lain selalu tidak
melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa
yang selalu mereka perbuat itu.”) (Al-Maidah: 79)
Yakni satu sama lainnya tidak mau
melarang perbuatan-perbuatan dosa dan haram yang mereka perbuat. Kemudian Allah
mencela mereka atas perbuatan itu agar dijadikan pelajaran dan peringatan bagi
yang lainnya untuk tidak melakukan perbuatan yang semisal. Untuk itu, Allah
Swt. berfirman:
labi’sa maa kaanuu yaf’aluun
(“Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”) (Al-Maidah:
79)
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Syarik ibnu
Abdullah, dari Ali ibnu Bazimah, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah yang
menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pemah bersabda:
“Ketika kaum Bani Israil tenggelam ke dalam perbuatan-perbuatan maksiat, maka para ulamanya mencegah mereka, tetapi mereka tidak mau berhenti. Lalu para ulama mereka mau duduk bersama dengan mereka dalam majelis-majelis mereka.”
“Ketika kaum Bani Israil tenggelam ke dalam perbuatan-perbuatan maksiat, maka para ulamanya mencegah mereka, tetapi mereka tidak mau berhenti. Lalu para ulama mereka mau duduk bersama dengan mereka dalam majelis-majelis mereka.”
Yazid mengatakan bahwa menurutnya
Syarik ibnu Abdullah mengatakan, “Di pasar-pasar mereka, dan bermuamalah dengan
mereka serta minum bersama mereka. Karena itu, Allah memecah-belah hati mereka,
sebagian dari mereka bertentangan dengan sebagian yang lain; dan Allah melaknat
mereka melalui lisan Nabi Daud dan Nabi Isa ibnu Maryam.”
Dzaalika bimaa ‘ashau wa kaanuu
ya’taduun (“Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui
batas.”) (Al-Maidah: 78)
Pada mulanya Rasulullah Saw.
bersandar, lalu duduk dan bersabda: “Tidak, demi Tuhan yang jiwaku berada di
dalam genggaman kekuasaan-Nya, sebelum kalian menyeret mereka kepada perkara
yang hak dengan sebenar-benarnya.”
Abu Daud mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad An-Nafili, telah menceritakan
kepada kami Yunus ibnu Rasyid, dari Ali ibnu Bazimah, dari Abu Ubaidah, dari
Abdullah ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
“Sesungguhnya kekurangan yang
mula-mula dialami oleh kaum Bani Israil ialah bilamana seorang lelaki bertemu
dengan lelaki lain (dari kalangan mereka), maka ia berkata kepadanya, ‘Hai
kamu, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah dosa yang kamu lakukan itu,
sesungguhnya perbuatan itu tidak halal bagimu.’ Kemudian bila ia menjumpainya
pada keesokan harinya, maka hal tersebut tidak mencegahnya untuk menjadi teman
makan, teman minum, dan teman duduknya. Setelah mereka melakukan hal tersebut,
maka Allah memecah-belah hati mereka; sebagian dari mereka bertentangan dengan
sebagian yang lain.”
Kemudian Rasulullah Saw. membacakan
firman-Nya: lu-‘inal ladziina kafaruu mim banii israa-iila ‘alaa lisaani
daawuuda wa ‘iisabni maryama. (“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani
Israil melalui lisan Daud dan Isa putra Maryam.”) (Al-Maidah: 78) sampai dengan
firman-Nya:
Faasiquun (“orang-orang yang
fasik.”) (Al-Maidah: 81)
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidak, demi Allah, kamu harus amar ma’ruf dan nahi munkar, dan kamu harus
mencegah perbuatan orang yang zalim, membujuknya untuk mengikuti jalan yang
benar atau kamu paksa dia untuk mengikuti jalan yang benar.”
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Imam Turmuzi dan Ibnu Majali melalui jalur Ali ibnu Bazimah dengan sanad
yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan gharib. Kemudian dia
dan Ibnu Majah meriwayatkannya pula melalui Bandar, dari Ibnu Mahdi, dari
Sufyan, dari Ali ibnu Bazimah dari Abu Ubaidah secara mursal.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj dan Harun ibnu Ishaq Al-Hamdani; keduanya
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad
Al-Muharibi, dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari Abdullah ibnu Amr ibnu Murrah,
dari Salim Al-Aftas, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang
mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Sesungguhnya seorang lelaki dari
kalangan kaum Bani Israil apabila melihat saudaranya sedang melakukan dosa,
maka ia melarangnya dari perbuatan dosa itu dengan larangan yang lunak Dan
apabila keesokan harinya apa yang telah ia lihat kemarin darinya tidak
mencegahnya untuk menjadi teman makan, teman bergaul, dan teman muamalahnya.”
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh
Harun disebutkan, “Dan teman minumnya.” Akan tetapi, keduanya sepakat dalam hal
matan berikut, yaitu:
“Setelah Allah melihat hal tersebut dari mereka, maka Dia memecah-belah hati mereka, sebagian dari mereka bertentangan dengan sebagian yang lain; dan Allah melaknat mereka melalui lisan Daud dan Isa ibnu Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”
“Setelah Allah melihat hal tersebut dari mereka, maka Dia memecah-belah hati mereka, sebagian dari mereka bertentangan dengan sebagian yang lain; dan Allah melaknat mereka melalui lisan Daud dan Isa ibnu Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.”
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:
“Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaanNya, kalian harus
beramar ma ‘ruf dan nahi munkar, dan kalian harus memegang tangan orang yang
jahat, lalu kalian paksa dia untuk tunduk kepada perkara yang hak dengan
sebenar-benarnya. Atau Allah akan memecah-belah hati sebagian dari kalian atas
sebagian yang lain, atau Allah akan melaknat kalian seperti Dia melaknat
mereka.”
Konteks ini ada pada Abu Sa’id.
Demikianlah menurut Ibnu Abu Hatim dalam riwayat hadis ini.
Imam Abu Daud telah meriwayatkannya
pula dari Khalaf ibnu Hisyam, dari Abu Syihab Al-Khayyat, dari Al-Ala ibnul
Musayyab, dari Amr ibnu Murrah, dari Salim (yaitu Ibnu Ajian Al-Aftas), dari
Abu Ubaidah ibnu Abdullah ibnu Mas’ud, dari ayahnya, dari Nabi Saw. dengan
lafaz yang semisal. Kemudian Abu Daud mengatakan bahwa hal yang sama telah
diriwayatkan oleh Khalid dari Al-Ala, dari Amr ibnu Murrah dengan sanad yang
sama.
Al-Muharibi meriwayatkannya dari
Al-Ala ibnul Musayyab, dari Abdullah ibnu Amr ibnu Murrah, dari Salim Al-Aftas,
dari Abu Ubaidah, dari Abdullah (Ibnu Mas’ud).
Guru kami, AlHafiz Abui Hajjaj
Al-Mazi, mengatakan bahwa Khalid ibnu Abdullah Al-Wasiti telah meriwayatkannya
dari Al-Ala ibnul Musayyab, dari Amr ibnu Murrah, dari Abu Ubaidah, dari Abu
Musa.
Hadishadis yang menerangkan tentang
amar ma ‘ruf dan nahi munkar banyak sekali jumlahnya. Berikut ini kami
ketengahkan sebagian darinya yang berkaitan dengan tafsir ayat ini. Dalam
pembahasan yang lalu telah disebutkan hadis Jabir, yaitu pada tafsir
firman-Nya:
“Mengapa orang-orang ‘alim mereka
dan pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka.” (Al-Maidah: 63) Dan kelak
akan disebutkan hadis Abu Bakar AsSiddiq dan Abu Sa’labah Al-Khusyani pada
tafsir firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman,
jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepada
kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk.” (Al-Maidah: 105)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Sulaiman Al-Hasyimi, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu
Ja’far, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Amr, dari Abdullah ibnu Abdur
Rahman Al-Asyhali, dari Huzaifah ibnul Yaman, bahwa Nabi Saw. telah
bersabda:
bersabda:
“Demi Tuhan yang jiwaku berada di
dalam genggaman kekuasaan-Nya….. melarang terhadap kemungkaran, ataukah
benar-benar dalam waktu yang dekat Allah akan menimpakan suatu siksaan dari
sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian benar-benar berdoa memohon kepadaNya,
tetapi Dia tidak memperkenankan bagi kalian.”
Imam Turmuzi meriwayatkannya dari
Ali ibnu Hajar, dari Ismail ibnu Ja’far dengan sanad yang sama, lalu Imam
Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan.
Abu Abdullah —yaitu Muhammad ibnu
Yazid ibnu Majah— mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu
Syaibah, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah ibnu Hisyam, dari Hisyam ibnu
Sa’d, dari Amr ibnu Usman, dari Asim ibnu Umar ibnu Usman, dari Urwah, dari
Siti Aisyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Beramar ma’rufIah dan bernahi
munkarlah kalian sebelum (tiba masanya) kalian berdoa, lalu tidak diperkenankan
bagi kalian.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu
Majah secara munfarid, dan Asim orangnya tidak dikenal. Di dalam kitab Sahih
melalui Al-A’masy, dari Ismail ibnu Raja, dari ayahnya, dari Abu Sa’id dan dari
Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab, dari Abu Sa’id Al-Khudri disebutkan
bahwa Rasulullah Saw. pemah bersabda:
“Barang siapa dari kalangan kalian
melihat perkara mungkar (dikerjakan), hendaklah ia mencegahnya dengan tangan
(kekuasaan)nya. Jika ia tidak mampu, cegahlah dengan lisannya. Dan jika ia
tidak mampu, hendaklah hatinya mengingkarinya; yang demikian itu merupakan iman
yang paling lemah. (Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Numair, telah menceritakan kepada kami Saif
(yaitu Ibnu Abu Sulaiman); ia pernah mendengar Addi ibnu Addi Al-Kindi
menceritakan dari Mujahid, telah menceritakan kepadanya seorang maula (bekas
budak) kami, bahwa ia pernah mendengar kakek —yakni Addi ibnu Umairah r.a.—
menceritakan hadis berikut, bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak mengazab
orang awam karena perbuatan orang-orang khusus sebelum mereka (orang-orang
khusus) melihat perkara mungkar dikerjakan di hadapan mereka, sedangkan mereka
berkemampuan untuk mencegahnya, lalu mereka tidak mencegahnya. Maka apabila
mereka berbuat demikian, barulah Allah mengazab orang-orang khusus dan
orang-orang awam.”
Kemudian Ahmad meriwayatkannya dari
Ahmad ibnul Hajjaj, dari Abdullah ibnul Mubarak, dari Saif ibnu Abu Sulaiman,
dari Isa ibnu Addi Al-Kindi yang mengatakan, “Telah menceritakan kepadaku
seorang maula kami yang telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar kakekku
mengatakan bahwa kakek pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, (lalu ia
menuturkan hadis ini). Demikianlah menurut riwayat Imam Ahmad dari dua jalur
tersebut.
Abu Daud mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abul Ala, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar,
telah menceritakan kepada kami Al-Mugirah ibnu Ziyad Al-Mausuli, dari Addi ibnu
Addi, dari Al-Urs (yakni Ibnu Umairah), dari Nabi Saw. yang telah bersabda:
“Apabila perbuatan dosa dilakukan di
bumi, maka orang yang menyaksikannya lalu membencinya —dan di lain waktu beliau
mengatakan bahwa lalu ia memprotesnya— maka kedudukannya sama dengan orang yang
tidak menyaksikannya Dan barang siapa yang tidak menyaksikannya, tetapi ia rela
dengan perbuatan dosa itu, maka kedudukannya sama dengan orang yang
menyaksikannya (dan menyetujuinya).
Hadis diriwayatkan oleh Imam Abu
Daud secara munfarid. Kemudian Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Ahmad ibnu
Yunus, dari Abu Syihab, dari Mugirah ibnu Ziyad, dari Addi ibnu Addi secara
mursal.
Abu Daud mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb dan Hafs ibnu Umar; keduanya
mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Syu’bah—berikut ini adalah
lafaznya—, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi yang mengatakan, telah
menceritakan kepadaku orang yang pernah mendengar dari Nabi Saw. Dan Sulaiman
mengatakan, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari kalangan sahabat
Nabi Saw. bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
“Manusia tidak akan binasa sebelum
mereka mengemukakan alasannya atau diri mereka dimaafkan.”
Ibnu Majah mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Imran ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hammad
ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Zaid ibnu Jad’an, dari Abu
Nadrah, dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah Saw. berdiri melakukan
khotbahnya, antara lain beliau Saw. mengatakan:
“Ingatlah, jangan sekali-kali
seorang lelaki merasa enggan karena takut kepada manusia (orang lain) untuk mengatakan
perkara yang hak jika ia mengetahuinya.”
Abu Nadrah melanjutkan kisahnya,
“Setelah mengemukakan hadis ini Abu Sa’id menangis, lalu berkata, ‘Demi Allah,
kami telah melihat banyak hal, tetapi kami takut (kepada orang lain)’.”
Di dalam hadis Israil, dari Atiyyah,
dari Abu Sa’id yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Jihad
yang paling utama ialah perkataan yang hak di hadapan sultan yang zalim.”
(Hadis riwayat Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah)
Imam Turmuzi mengatakan bahwa bila
ditinjau dari segi ini, hadis berpredikat hasan garib.
Ibnu Majah mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Rasyid ibnu Sa’id Ar-Ramli, telah menceritakan kepada
kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah,
dari Abu Galib, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa seorang lelaki
menghadap kepada Rasulullah Saw. ketika beliau berada di jumrah pertama, lalu
lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, apakah jihad yang paling utama itu?”
Rasulullah Saw. diam, tidak menjawab. Ketika beliau Saw. melempar jumrah kedua, lelaki itu kembali bertanya, tetapi Nabi Saw, tetap diam. Setelah Nabi Saw. melempar jumrah ‘aqabah, lalu meletakkan kakinya pada pijakan pelana kendaraannya untuk mengendarainya, maka beliau bertanya, “Di manakah orang yang bertanya tadi?” Lelaki itu menjawab, “Saya, wahai Rasulullah,” Rasulullah Saw. bersabda: “Kalimah hak yang diucapkan di hadapan penguasa yang sewenang-wenang.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah secara munfarid).
Rasulullah Saw. diam, tidak menjawab. Ketika beliau Saw. melempar jumrah kedua, lelaki itu kembali bertanya, tetapi Nabi Saw, tetap diam. Setelah Nabi Saw. melempar jumrah ‘aqabah, lalu meletakkan kakinya pada pijakan pelana kendaraannya untuk mengendarainya, maka beliau bertanya, “Di manakah orang yang bertanya tadi?” Lelaki itu menjawab, “Saya, wahai Rasulullah,” Rasulullah Saw. bersabda: “Kalimah hak yang diucapkan di hadapan penguasa yang sewenang-wenang.” (Hadis diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah secara munfarid).
Ibnu Majah mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abdullah
ibnu Numair dan Abu Mu’awiyah, dari AlA’masy, dari Amr ibnu Murrah, dari Abui
Buhturi, dari Abu Sa’id yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
“Janganlah seseorang di antara
kalian menghina dirinya sendiri.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana
seseorang di antara kami menghina dirinya sendiri? ” Rasulullah Saw. menjawab,
“(Bila) ia melihat suatu urusan menyangkut Allah yang harus diluruskannya, kemudian
ia tidak mau mengatakannya. Maka kelak di hari kiamat Allah akan berfirman
kepadanya, ‘Apakah yang menghalang-halangi kamu untuk mengatakan hal yang benar
mengenai Aku dalam masalah anu, anu, dan anu?’ Maka ia menjawab, ‘Takut kepada
manusia (orang lain).’ Maka Allah berfirman, ‘Sebenarnya Akulah yang harus
engkau takuti’.”
(Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini secara munfarid.)
(Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini secara munfarid.)
Ibnu Majah mengatakan pula, telah
menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami
Muhammad ibnu Fudail, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa’id, telah
menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abdur Rahman Abu Jiwalah, telah
menceritakan kepada kami Nahar Al-Abdi; ia pernah mendengar Abu Sa’id Al-Khudri
mengatakan bahwa ia pemah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah menanyai
hamba-hambaNya di hari kiamat, sehingga Dia mengatakan, “Apakah yang
menghalang-halangimu ketika kamu melihat perkara mungkar untuk mengingkarinya?”
Apabila Allah telah mengajarkan kepada seorang hamba alasan yang dikemukakannya, maka hamba itu berkata, “Wahai Tuhanku, saya berharap kepada-Mu dan saya tinggalkan manusia.”
(Hadis ini pun diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara munfarid, dan sanadnya boleh dipakai.)
Apabila Allah telah mengajarkan kepada seorang hamba alasan yang dikemukakannya, maka hamba itu berkata, “Wahai Tuhanku, saya berharap kepada-Mu dan saya tinggalkan manusia.”
(Hadis ini pun diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara munfarid, dan sanadnya boleh dipakai.)
Imam Ahmad mengatakan, telah
menceritakan kepada kami Amr ibnu Asim, dari Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu
Zaid, dari Al-Hasan, dari Jundub, dari Huzaifah, dari Nabi Saw. yang telah
bersabda:
“Tidak layak bagi seorang muslim
menghina dirinya sendiri.” Ketika ditanyakan, “Bagaimanakah seseorang dapat
menghina dirinya sendiri? ” Nabi Saw. bersabda, “Melibatkan dirinya ke dalam
bencana yang tidak mampu dipikulnya.”
Hal yang sama telah diriwayatkan
oleh Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah, semuanya dari Muhammad ibnu Basysyar,
dari Amr ibnu Asim dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan, hadis ini
(kalau bukan) hasan (berarti) gharib.
Ibnu Majah mengatakan, telah
menceritakan kepada kami AI-Abbas ibnul Walid Ad-Dimasyqi, telah menceritakan
kepada kami Zaid ibnu Yahya ibnu Ubaid Al-Khuza’i, telah menceritakan kepada
kami Al-Haisam ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Abu Ma’bad Hafs ibnu
Gailan Ar-Ra’ini, dari Makhul, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa
pernah ditanyakan, “Wahai Rasulullah, bilakah amar ma’ruf dan nahi munkar
ditinggalkan?” Maka Rasulullah Saw. menjawab: “Apabila muncul di kalangan
kalian hal-hal yang pemah muncul di kalangan umat sebelum kalian.” Kami
bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang pemah muncul di kalangan umat-umat
sebelum kami?” Rasulullah Saw. bersabda: “Kerajaan (kekuasaan) di tangan
orang-orang kecil kalian, perbuatan keji dilakukan di kalangan para pembesar
kalian, dan ilmu berada di tangan orang-orang rendah kalian.”
Zaid mengatakan sehubungan dengan
makna sabda Nabi Saw. yang mengatakan: “Dan ilmu di tangan orang-orang rendah
kalian.”
Makna yang dimaksud ialah bilamana ilmu dikuasai oleh orang-orang yang fasik. Hadis diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah secara munfarid.
Makna yang dimaksud ialah bilamana ilmu dikuasai oleh orang-orang yang fasik. Hadis diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah secara munfarid.
Dan di dalam hadis Abu Sa’labah yang
akan diketengahkan dalam tafsir firmanNya: “tiada orang yang sesat saat itu
akan memberi mudarat kepada kalian, apabila kalian telah mendapat petunjuk
(Al-Maidah: 105) terdapat bukti yang memperkuat hadis ini.
Firman Allah Swt.: taraa katsiiram
minHum yatawallaunal ladziina kafaruu (“Kamu melihat kebanyakan dari mereka
tolong-menolong dengan orang-orang kafir [musyrik]”). (Al-Maidah: 80)
Menurut Mujahid, mereka adalah
orang-orang munafik.
Firman Allah Swt.: labi’sa maa
qaddamat laHum anfusuHum (“Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan
untuk diri mereka.”) (Al-Maidah: 80)
Yang dimaksud dengan hal tersebut
ialah mereka berpihak kepada orang-orang kafir dan meninggalkan orang-orang
mukmin, yang akibatnya hati mereka menjadi munafik dan Allah murka terhadap
mereka dengan murka yang terus-menerus sampai hari mereka dikembalikan
kepadaNya. Karena itulah disebutkan oleh firmanNya:
An sakhithallaaHu ‘alaiHim (“yaitu
kemurkaan Allah kepada mereka.”) (Al-Maidah: 80)
Ayat ini mengandung pengertian
sebagai celaan terhadap perbuatan mereka itu. Selanjutnya Allah Swt. memberitahukan
bahwa mereka mengalami nasib berikut:
Wa fil ‘adzaabi Hum khaaliduun (“dan
mereka akan kekal dalam siksaan.”) (Al-Maidah: 80)
Yakni kelak di hari kiamat.
Yakni kelak di hari kiamat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu
Ammar, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ali, dari Al-A’masy dengan
sanad yang disebutkannya:
“Hai semua orang muslim, jauhilah
oleh kalian perbuatan zina,….. perkara; tiga di dunia, dan tiga lagi di
akhirat. Adapun di dunia, maka sesungguhnya perbuatan zina itu dapat
menghapuskan ketampanan (kewibawaan), mengakibatkan kefakiran, dan mengurangi
umur. Adapun yang di akhirat, maka sesungguhnya perbuatan zina itu memastikan
murka Tuhan, hisab yang buruk dan kekal dalam neraka.”
Kemudian Rasulullah Saw. membacakan
firmanNya: labi’sa maa qaddamat laHum anfusuHum An sakhithallaaHu ‘alaiHim Wa
fil ‘adzaabi Hum khaaliduun (“Sesungguhnya amat buruklah apayang mereka
sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka
akan kekal dalam siksaan.” (Al-Maidah: 80)
Hal yang sama telah diketengahkan
oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Murdawaih telah meriwayatkannya
melalui jalur Hisyam ibnu Ammar, dari Muslim, dari Al-A’masy, dari Syaqiq, dari
Huzaifah, dari Nabi Saw., lalu ia mengetengahkan hadis ini. Ia pun
mengetengahkannya pula melalui jalur Sa’id ibnu Afir, dari Muslim, dari Abu
Abdur Rahman Al-Kufi, dari Al-A’masy, dari Syaqiq, dari Huzaifah, dari Nabi
Saw., lalu ia mengetengahkan hadis yang semisal. Akan tetapi, dalam keadaan
bagaimana pun hadis ini berpredikat daif.
Firman Allah Swt.: wa lau kaanuu
yu’minuuna billaaHi wan nabiyyi mimmaa unzila ilaiHi mat takhadzuuHum auliyaa-a
(“Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada nabi, dan kepada apa yang
diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrik
itu menjadi penolong-penolong.” (Al-Maidah: 81)
Dengan kata lain, sekiranya mereka
beriman dengan sesungguhnya kepada Allah dan Rasul-Nya serta AIQur’an, niscaya
mereka tidak akan terjerumus ke dalam perbuatan menjadikan orang-orang kafir
sebagai penolong-penolong mereka dalam batinnya, dan memusuhi orang-orang yang
beriman kepada Allah, Nabi, dan Al-Our’an yang diturunkan kepadanya.
Wa laakinna katsiiram minHum
faasiquun (“Tetapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.”)
(Al-Maidah: 81)
Yakni keluar dari jalan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta menentang ayat-ayat wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya.
Yakni keluar dari jalan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta menentang ayat-ayat wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak
dan saudara-saudaramu pemimpin: pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan
kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka
pemimpin pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim. (QS. 9:23)
Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan
kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu
cintai lebih daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya,
maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. 9:24)” (at-Taubah / al-Bara’ah: 23-24)
Allah memerintahkan agar
meninggalkan orang-orang kafir meskipun mereka itu adalah bapak atau anak kita.
Allah juga melarang kita bersahabat dengan mereka jika mereka lebih memilih
kekafiran daripada iman. Dalam hal ini, Allah juga memberikan peringatan,
seperti firman-Nya yang artinya:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Mujadilah: 22).
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Mujadilah: 22).
Kemudian Allah memerintahkan
Rasul-Nya untuk memberikan peringatan kepada orang-orang yang lebih
mengutamakan keluarga dan kerabatnya daripada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di
jalan-Nya, Allah berfirman:
Qul in kaana aabaa-ukum wa abnaa-ukum wa ikhwaanukum wa azwaajukum wa ‘asyiiratukum wa amwaaluniq taraftumuuHaa (“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan.”) dan kamu memperolehnya.
Qul in kaana aabaa-ukum wa abnaa-ukum wa ikhwaanukum wa azwaajukum wa ‘asyiiratukum wa amwaaluniq taraftumuuHaa (“Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan.”) dan kamu memperolehnya.
Wa tijaaratun takhsyauna kasaadaHaa
wa masaakinu tardlaunaHaa (“dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya,
dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai”) yakni yang kamu sukai karena
keindahan dan keelokannya. Jika semua ini:
Ahabba ilaikum minallaaHi wa
rasuuliHii wa jiHaadi fii sabiiliHii fatarabbashuu (“Lebih kamu cintai daripada
Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah.”) yakni tunggulah
hukuman apa yang akan menimpamu, untuk itu Allah berfirman:
hattaa ya’tiyallaaHu bi-amriHi
wallaaHu laa yaHdil qaumal faasiqiin (“Hingga Allah mendatangkan keputusan-Nya.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”)
Dalam sebuah hadits shahih
disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak beriman seorang di antara kamu hingga aku lebih ia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Al-Bukhari).
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak beriman seorang di antara kamu hingga aku lebih ia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Al-Bukhari).
Imam Ahmad dan Abu Dawud
meriwayatkan dari Ibnu `Umar, ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw
bersabda:
“Jika kalian telah melakukan jual-beli dengan cara ‘inah’, kalian sibuk dengan peternakan, puas dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan yang Allah tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada (ajaran) agama kalian.”
“Jika kalian telah melakukan jual-beli dengan cara ‘inah’, kalian sibuk dengan peternakan, puas dengan pertanian, dan meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan yang Allah tidak akan mencabutnya hingga kalian kembali kepada (ajaran) agama kalian.”
Hadits ini adalah penguat bagi
hadits yang sebelumnya. Wallahu a’lam.
(‘inah: Sejenis jual beli yang
mengandung unsur riba: Ed)
23. “Hai orang-orang beriman,
janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika
mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang
menjadikan mereka wali, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (Baraa’ah:
23)
24. Katakanlah: “Jika bapa-bapa ,
anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan
dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan
NYA”. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”
(Baraa’ah: 24)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim
dari ‘Ali bin Abi Thalhah yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa pada waktu
ditawan dalam Peperangan Badr, al-‘Abbas berkata: “Sekiranya kalian termasuk
orang-orang yang telah lebih dulu masuk Islam, hijrah, dan jihad, sebenarnya
kami termasuk orang-orang yang memakmurkan masjidil Haram, memberikan minum
kepada orang-orang yang naik haji, dan membebaskan orang-orang dari
penderitaannya.” Maka turunlah ayat ini (Baraa’ah: 17-19) yang menegaskan bahwa
orang-orang yang memakmurkan masjid dan lain-lain, serta belum beriman itu
tidak sama dengan orang-orang yang beriman dan berjihad di jalan Allah.
Diriwayatkan oleh Muslim, Ibnu
Hibban, dan Abu Dawud, yang bersumber dari sumber dari an-Nu’man bin Basyir
bahwa pada suatu hari an-Nu’man bahwa pada suatu hari an-Nu’man bin Basyir
berada disamping mimbar Rasullah saw. bersama beberapa orang sahabat lainya.
Berkatalah seorang diantara mereka: “Aku tedak memperdulikan amal saleh yang
lain, setelah Islam tersebar (Fat-hu Makkah), kecuali akan memberi minum kepada
orang yang naik haji, ”Yang lainnya berkata: “Aku hanya akan memakmurkan
Masjidil Haram.” Yang lainnya lagi berkata: “Aku hanya akan berjihad di jalan
Allah. Perbuatan itu lebih baik daripada apa yang kalian katakan.” ‘Umar
membenta mereka seraya berkata: “Janganlah kalian berbicara keras-keras di samping
mimbar Rasullah saw.! Nanti setelah shalat jum’at, aku kan menghadap Rasullah
saw. untuk meminta fatwa tentang apa yang kamu perselisihkan itu.” Turunnya
ayat ini (Q.S. 9 Bara-ah: 19) sebagai penegasan bahwa orangg yang mengkhususkan
pada amal saleh tertentu saja, tidah sama kepada orng yang beriman kepada Allah
dan hari akhir serta berjihad di Jalan-nya.
Diriwayatkan oleh al-Faryabi yang
bersumber dari Ibnu sirin. Dirwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaq yang bersumber
dari asy-Syu’bi. Bahwa ‘Ali bin Abi Thalib datang ke Mekah dan berkata kepada
al-‘Abbas: “Wahai pamanku, tidakkah engkau ingin hijrah ke Madinah untuk
mengikuti Rasulullah saw.?” Ia menjawab: “Bukankah aku ini suka memakmurkan
mesjid dan mengurus baitullah?” Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa
tersebut, yang menegaskan perbedaan antara orang yang beriman dan berjihad di
jalan Allah dengan orang-orang yang hanya berbuat kebaikan. Kemudian ‘Ali
berkata kepada yang lainnya dengan menyebutkan namanya satu persatu: “Tidakkah
kalian ingin berhijrah mengikuti Rasulullah ke Madinah?” Mereka menjawab: “Kami
tinggal di sini beserta saudara-saudara dan teman-teman kami sendiri.”
Sehubungan dengan peristiwa ini, turunlah ayat berikutnya (Baraa’ah: 24) yang
menegaskan bahwa orang-orang yang lebih mencintai sanak saudara, keluarga,
kawan dan kekayaannya daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya serta jihad
fisabilillah, diancam dengan azab Allah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang
bersumber dari Muhammad bin Ka’b al-Qurazhi bahwa Thalhah bin Syaibah, al-‘Abbas,
dan ‘Ali bin Abi Thalib membanggakan dirinya masing-masing. Thalhah berkata:
“Aku yang menguasai baitullah, dan kuncinyapun ada padaku.” Al-‘Abbas berkata:
“Aku tukang memberi minum kepada jemaah haji dan mengurus mereka.” Dan ‘Ali bin
Abi Thalib berkata: “Aku adalah orang pertama yang shalat menghadap kiblat
sebelum orang-orang menghadap ke arahnya. Aku juga sering memimpin jihad
fisabilillah.” Turunnya ayat ini (Baraa’ah: 19) menegaskan bahwa orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir serta berjihad fisabilillah, jauh berbeda
dengan orang yang mengurus orang-orang yang naik haji ataupun yang mengurus
Baitullah.
Sumber: asbabun nuzul, KHQ Shaleh
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
“1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada
mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir
Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika kamu
benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku
(janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan secara rahasia
(berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. aku lebih
mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan
Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya Dia telah
tersesat dari jalan yang lurus. 2. jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka
bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu
dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. 3. karib
Kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat.
Dia akan memisahkan antara kamu. dan Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.” (al-Mumtahanah:
1-3)
Yang menjadi sebab turunnya awal
surah ini adalah kisah Hathib bin Abi Balta’ah. Dikisahkan, Hathib adalah salah
seorang di antara kaum Muhajirin yang juga orang yang termasuk mengikuti perang
Badar. Di Makkah dia mempunyai beberapa orang anak, dan dia bukan orang
Quraisy. Tetapi ia adalah seorang sekutu ‘Utsman. Ketika Rasulullah saw. bertekad
untuk menaklukkan kota Makkah setelah penduduknya melanggar perjanjian, beliau
memerintahkan kaum Muslimin untuk bersiap-siap berperang dengan mereka secara
terang-terangan. Beliau bersabda: “Ya Allah rahasiakanlah kepada mereka berita
kami ini.”
Kemudian Hathib muncul, lalu ia
menulis surat dan mengirimkannya melalui seorang wanita dari suku Quraisy
kepada penduduk Makkah untuk memberitahukan kepada mereka tentang tekad
Rasulullah saw. untuk memerangi mereka, supaya mereka bersiap-siap. Kemudian
Allah memperlihatkan hal tesebut kepada Rasul-Nya sebagai bentuk pengabulan-Nya
terhadap doa beliau. Lalu Rasulullah saw. mengirimkan utusan untuk menyusul
wanita tersebut. Utusan beliau pun mengambil surat dari wanita itu.
Hal teresebut telah dikemukakan dalam hadits yang sudah disepakati keshahihannya.
Hal teresebut telah dikemukakan dalam hadits yang sudah disepakati keshahihannya.
Imam Ahmad meriwayatkan, Sufyan
memberitahu kami dari pamannya, dari Hasan bin Muhammad bin ‘Ali dari ‘Abdullah
bin Abi Rafi’, Murrah berkatan: Sesungguhnya ‘Ubaidullah bin Abi Rafi’
memberitahunya, bahwa ia pernah mendengar ‘Ali bercerita: Rasulullah saw.
pernah mengutusku, az-Zubair dan al-Miqdad. Lalu beliau bersabda: “Pergilah
kalian hingga sampai ke kebun Khakh. Disana terdapat seorang wanita yang
memegang surat, ambillah surat itu darinya.” Kamipun pergi melarikan kuda kami
hingga sampai di kebun itu. Ketika kami bertemu wanita itu, kami berkata:
“Keluarkanlah surat itu.” Ia mengatakan: “Aku tidak membawa surat.” Kami
berkata: “Kamu keluarkan surat itu atau kamu tinggalkan pakaianmu.” Lalu ia
mengeluarkan surat itu dari sanggulnya. Kami pun mengambil surat itu dan
memberikannya kepada Rasulullah saw. Ternyata surat dari Hathib bin Abi
Balta’ah yang dialamatkan kepada kaum musyrikin Makkah. Surat itu
memberitahukan kepada mereka tentang sebagian perkara yang akan dilakukan oleh
Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. bertanya: “Hai Hathib, apa ini?”
Hathib berkata: “Jangan engkau terburu-buru [berprasangka buruk] terhadapku.
Dahulu aku adalah orang yang berada [hidup] di dekat orang-orang Quraisy, namun
aku bukan dari kalangan mereka. Sedangkan kaum Muhajirin yang ada bersamamu
selalu memberikan perlindungan kepada keluarga mereka yang berada di Makkah.
Oleh karena itu aku sangat ingin membantu melindungi keluargaku, meskipun aku
tidak mempunyai hubungan nasab dengan mereka. Aku tidak melakukan semua itu
karena kufur, murtad dari agamaku dan rela terhadap kekafiran setelah aku masuk
Islam.” Lalu ‘Umar pun berkata: “Biarkan aku penggal leher orang munafik ini.”
Maka Rasulullah saw. pun bersabda: “Dia telah mengikuti perang Badar, dan
engkau tidak tahu bahwa Allah telah mengetahui seluk beluk para prajurit perang
Badar itu. Allah swt. berfirman: “Berbuatlah sekehendak kalian, karena Aku
telah memberikan ampunan kepada kalian.”
Demikianlah hadits yang diriwayatkan
oleh al-Jama’ah kecuali Ibnu Majah dari Sufyan bin ‘Uyainah. Dan Imam
al-Bukhari menambahkan dalam kitab al-Maghaazi [peperangan] dalam shahihnya:
“Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat: yaa ayyuHalladziina aamanuu laa tattakhdzuu
‘aduwwii wa ‘aduwwakum auliyaa-a (“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.”)
Dengan demikian firman Allah: yaa
ayyuHalladziina aamanuu laa tattakhdzuu ‘aduwwii wa ‘aduwwakum auliyaa-a
tulquuna ilaiHim bil mawaddati wa qad kafaruu bimaa jaa-akum minal haqqi (“hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi
teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka [berita-berita Muhammad]
karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada
kebenaran yang datang kepadamu.”) yakni orang-orang musyrik dan kafir yang
memerangi Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang Dia telah menetapkan
permusuhan dan perlawanan terhadap mereka. Dan Dia melarang kaum muslimin
menjadikan mereka itu sebagai teman setia atau sahabat. Sebagaimana difirmankan
Allah yang artinya sebagai berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51)
Yang demikian itu merupakan kecaman
keras sekaligus ancaman yang sangat tegas. Allah berfirman yang artinya:
“28. janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali ‘Imraan: 28)
“28. janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali ‘Imraan: 28)
Oleh karena itu Rasulullah menerima
alasan Hathib ketika ia menyebutkan bahwa apa yang ia lakukan itu hanya sebagai
suatu siasat terhadap suku Quraisy untuk menjaga harta dan anak-anaknya di
tengah-tengah mereka.
Dan firman Allah: yukhrijuunar
rasuula wa iyyaakum (“Mereka mengusir Rasul dan [mengusir]mu.”) demikianlah
kenyataannya, disyariatkan permusuhan terhadap mereka dan tidak menjadikan
mereka sebagai teman setia, karena mereka telah mengusir Rasulullah saw. dan
para shahabatnya dari tengah-tengah mereka sebagai bentuk kebencian terhadap apa
yang ada pada Rasulullah saw. dan para shahabatnya berupa tauhid dan keikhlasan
dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu Allah berfirman: an
tu’minuuna billaaHi rabbakum (“Karena kamu beriman kepada Allah, Rabb-mu.”)
maksudnya, kalian tidak mempunyai kesalahan terhadap mereka kecuali keimanan
kalian kepada Allah, Rabb seru sekalian alam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala
berikut ini: wa maa naqamuu minHum illaa ay yu’minuu billaaHil ‘aziizil hamiid
(“Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang
mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahaterpuji.”)
(al-Buruuj: 8)
Firman Allah: in kuntum kharajtum
jiHaadan fii sabiilii wabtighaa-a mardlaatii (“Jika kamu benar-benar keluar
untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridlaan-Ku.”) maksudnya jika kalian
seperti itu, maka janganlah kalian menjadikan mereka sebagai teman setia jika
kalian benar-benar akan pergi berjihad di jalan-Ku (Allah) dengan tujuan
mencari keridlaan-Ku. Oleh karena itu, janganlah kalian menjadikan
musuh-musuh-Ku dan juga musuh-musuh kalian sebagai teman setia kalian. Karena
mereka telah mengusir kalian dari negeri dan harta kalian serta murka terhadap
agama kalian.
Firman Allah: tusirruuna ilaiHim bil
mawaddati wa ana a’lamu bimaa akhfaitum wa maa a’lantum (“Kamu memberikan
secara rahasia [berita-berita Muhammad] kepada mereka karena kasih sayang. Aku
lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.”)
maksudnya kalian perbuat semua itu, sedang Aku Mahamengetahui semua rahasia,
bisikan hati dan yang terang-terangan.
Wamay yaf’alHu minkum faqad dlalla
sawaa-as sabiil. Iy yatsqafuukum yakuunuu lakum a’daa-aw wa yabsuthuu ilaikum
aidiyaHum wa alsinataHum bis suu-i (“Dan barangsiapa di antara kamu yang
melakukannya, maka sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus. Jika
mereka menangkapmu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan
melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti[mu].”) maksudnya
jika mereka menguasaimu, mereka pasti tidak dapat menjaga lidah dan perbuatan
mereka sebagai sarana untuk menyakiti kalian. Wawadduu lau takfuruun (“dan
mereka ingin supaya kamu [kembali] kafir.”) mereka berkeinginan keras agar
kalian tidak mendapatkan kebaikan apapun, permusuhan mereka terhadap kalian akan
tetap ada dan tampak jelas, maka bagaimana mungkin kalian berteman setia dengan
orang-orang seperti ini? Yang demikian itu merupakan pendorong untuk mengadakan
permusuhan dengan mereka.
Firman Allah: lan tanfa’akum
arhaamukum wa laa aulaadukum yaumal qiyaamati yafshilu bainakum wallaaHu bimaa
ta’maluuna bashiir (“Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tidak
bermanfaat bagimu pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah
Mahamelihat apa yang kamu kerjakan.”) yakni kaum kerabat kalian tidak akan
mendatangkan manfaat apapun bagi kalian di sisi Allah jika Dia menghendaki
keburukan menimpa diri kalian. Dan kemanfaatan mereka pun tidak akan sampai
pada kalian jika kalian mencari kerelaan mereka dengan cara melakukan sesuatu
yang dimurkai Allah. Barangsiapa yang menyutujui kekufuran keluarganya supaya
mereka senang, maka sesungguhnya ia benar-benar merugi lagi sesat. Dan kaum
kerabatnya sama sekali tidak membawa manfaat baginya di sisi Allah, meskipun ia
merupakan kerabat dekat salah seorang Nabi.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas,
bahwasannya ada seorang laki-laki berkata: “Ya Rasulallah, dimanakah ayahku?”
Beliau menjawab: “Di neraka.” setelah itu ia pergi sambil menunduk, Rasulullah
saw. memanggilnya dan bersabda: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu ada di neraka.”
Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud dari hadits Hammad bin Salamah.
Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud dari hadits Hammad bin Salamah.
1. Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang
kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), Karena rasa kasih
sayang; padahal Sesungguhnya mereka Telah ingkar kepada kebenaran yang datang
kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu Karena kamu beriman kepada
Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan
mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan
secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, Karena rasa kasih
sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu
nyatakan. dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya
dia Telah tersesat dari jalan yang lurus.
2. Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir.
3. Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. dia akan memisahkan antara kamu. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
4. Sesungguhnya Telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia; ketika mereka Berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan Telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya*: “Sesungguhnya Aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan Aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami Hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan Hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan Hanya kepada Engkaulah kami kembali.”
(al-Mumtahanah: 1-4)
2. Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir.
3. Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu pada hari kiamat. dia akan memisahkan antara kamu. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
4. Sesungguhnya Telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia; ketika mereka Berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan Telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya*: “Sesungguhnya Aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan Aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami Hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan Hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan Hanya kepada Engkaulah kami kembali.”
(al-Mumtahanah: 1-4)
* nabi Ibrahim pernah memintakan
ampunan bagi bapaknya yang musyrik kepada Allah : Ini tidak boleh ditiru,
Karena Allah tidak membenarkan orang mukmin memintakan ampunan untuk
orang-orang kafir (lihat surat An Nisa ayat 48).
Diriwayatkan oleh asy-Syaikhaan
(al-Bukhari dan Muslim) yang bersumber dari ‘Ali bahwa Rasulullah saw. mengutus
‘Ali, az-Zubair, dan al-Miqdad bin al-Aswad, dengan bersabda: “Pergilah kalian
ke kebun Khakh. Di sana kalian akan bertemu dengan seorang perempuan yang
membawa surat. Ambillah surat itu dan bawalah kepadaku.” Berangkatlah mereka
bertiga hingga sampai ke tempat yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Di sana
mereka bertemu dengan seorang wanita yang naik unta. Berkatalah mereka:”Berikan
surat itu kepada kami.” Ia mendjawab: “Saya tidak membawa surat.” Mereka
berkata: “Sekiranya engkau tidak menyerahkannya, kami akan menelanjangi
engkau.” Dengan susah payah ia pun mengeluarkan surat itu dari sanggul
rambutnya.
Kemudian mereka membawa surat itu kepada Rasulullah saw. Setelah diperiksa ternyata surat itu dari seorang shahabat yang bernama Hathib bin Abi Balta’ah yang ditujukan kepada orang –orang musyrikin di Mekah, yang isinya memberitahukan kepada mereka beberapa perintah Nabi Saw. Akhirnya Hathib dipanggil oleh Rasulullah Saw. Setelah berada di hadapan Rasulullah Saw, beliau bertanya kepada Hathib: “Apakah ini wahai Hathib ?”, sambil memperlihatkan surat. Hathib menjawab dengan ketakutan: “Jangan tergesa-gesa (menghukum aku), ya Rasulullah. Aku mempunya teman dari golongan Quraisy, akan tetapi aku sendiri bukan termasuk golongan mereka. Shahabat-shahabat Muhajirin yang ada sekarang, banyak mempunyai kerabat yang bisa menjaga famili dan harta bendanya di Mekah. Sedang aku sendiri tidak mempunyai kerabat seperti mereka. Karenanya aku membuat budi kepada mereka supaya mereka menjaga keluargaku yang lemah dan harta bendaku. Aku berbuat demikian bukan karena kufur atau murtad dari agama dan bukan pula karena ridha atau kekufuran mereka.” Rasulullah saw bersabda: “Ia mengatakan yang sebenarnya.” Ayat ini (al-Mumtahanah: 1-4) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang melarang kaum Mukminin memberikan berta kepada kaum kafir karena rasa cinta kepada mereka.
Kemudian mereka membawa surat itu kepada Rasulullah saw. Setelah diperiksa ternyata surat itu dari seorang shahabat yang bernama Hathib bin Abi Balta’ah yang ditujukan kepada orang –orang musyrikin di Mekah, yang isinya memberitahukan kepada mereka beberapa perintah Nabi Saw. Akhirnya Hathib dipanggil oleh Rasulullah Saw. Setelah berada di hadapan Rasulullah Saw, beliau bertanya kepada Hathib: “Apakah ini wahai Hathib ?”, sambil memperlihatkan surat. Hathib menjawab dengan ketakutan: “Jangan tergesa-gesa (menghukum aku), ya Rasulullah. Aku mempunya teman dari golongan Quraisy, akan tetapi aku sendiri bukan termasuk golongan mereka. Shahabat-shahabat Muhajirin yang ada sekarang, banyak mempunyai kerabat yang bisa menjaga famili dan harta bendanya di Mekah. Sedang aku sendiri tidak mempunyai kerabat seperti mereka. Karenanya aku membuat budi kepada mereka supaya mereka menjaga keluargaku yang lemah dan harta bendaku. Aku berbuat demikian bukan karena kufur atau murtad dari agama dan bukan pula karena ridha atau kekufuran mereka.” Rasulullah saw bersabda: “Ia mengatakan yang sebenarnya.” Ayat ini (al-Mumtahanah: 1-4) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang melarang kaum Mukminin memberikan berta kepada kaum kafir karena rasa cinta kepada mereka.
8. Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari
Asma’ binti Abi Bakr bahwa Qatilah (seorang kafir) datang kepada Asma’ binti
Abi Bakr (anak kandungnya). Setelah itu Asma’ bertanya kepada Rasulullah saw:
“Bolehkah saya berbuat baik kepadanya?” Rasulullah saw menjawab: “Ya (boleh).”
Ayat ini (al-Mumtahanah: 8) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang
menegaskan bahwa Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak
memusuhi agama Allah.
Diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzar,
dan al-Hakim-dishahihkan oleh al-Hakim-, yang bersumber dari ‘Abdullah bin
az-Zubair bahwa Siti Qatilah, istri Abu Bakr yang telah diceraikan pada zaman
jahiliyyah, datang kepada anaknya, Asma’ binti Abi Bakr, membawa bingkisan.
Asma’ menolak pemberian itu, bahkan ia tidak memperkenankan ibunya masuk ke
dalam rumahnya. Setelah itu ia mengutus seseorang kepada ‘Aisyah (saudaranya)
agar menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw
memerintahkan untuk menerimanya dengan baik serta menerima pula bingkisannya.
Ayat ini (al-Mumtahanah: 8) turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang
menegaskan bahwa Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang kafir yang
tidak memusuhi agama Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar