Sabtu, 28 Juli 2012

18 KESALAHFAHAMAN UMUM SEBAGIAN MUSLIM TERKAIT PUASA & CARA MENYIKAPINYA

Bismillah...
Setidaknya, ada 18 kesalahfahaman yang akan diuraikan dalam pembahasan kali ini, baik mengenai hadits dha’if yang perlu atau tidak perlu dipermasalahkan, maupun beberapa pemahaman yang tidak sesuai dengan dalil/nash. InsyaAllah dengan penjelasan yang mudah dimengerti:
1. Berpuasalah, maka kalian akan sehat
2. Tidurnya orang puasa adalah ibadah
3. Pembagian Ramadhan: 10 hari pertama rahmat, 10 hari kedua ampunan, 10 hari ketiga pembebasan dari api neraka
4. Amalan Ramadhan: ibdadah sunnah diganjar ibadah wajib, ibadah wajib diganjar 70 kali lipat
5. Perselisihan mengenai doa berbuka puasa
6. Meninggalkan satu hari puasa Ramadhan tanpa udzur tidak akan bisa diganti selama-lamanya
7. Penafsiran syetan dibelengu di bulan Ramadhan
8. Terburu-buru mendatangai shalat Tarawih
9. Berbuka puasa dengan yang manis
10. Adanya anggapan apabila imsak sudah tidak boleh makan/minum lagi
11. Perselisihan mengenai cara shalat lail (tarawih)
12. Perselisihan mengenai jumlah shalat tarawih 11 vs 23 rakaat
13. Tidak mendengarkan ceramah tarawih bagi ‘aliran’ tertentu
14. Meninggalkan jamaah tarawih setelah mendapat 8 rakaat
15. Anggapan bahwa shalat witir dan/atau tarawih hanya ada di bulan Ramadhan
16. Anggapan bahwa setelah shalat witir tidak boleh shalat malam lagi
17. Kekeliruan penggunaah istilah “zakat fitrah”
18. Kekeliruan pemahaman bahwa orang miskin tidak perlu zakat fithri

Selanjutnya mari kita simak seluruh penjelasan berikut dan kemudian kita sampaikan kembali kepada sesama muslim demi terciptanya pemahaman komprehensif Islam dan bersatunya umat Islam:

Pertama-tama, perlu kita pahami 3 poin penting dalam setiap pemakaian hadits:
1. Sanad (jalur periwayatan oleh para perawi hadits), sehingga dapat diketahui shahih, hasan, dha’if, atau maudhu’.
2. Matan (isi kandungan hadits):
a) Meskipun sanadnya shahih apabila ada pertentangan dengan hukum yang lebih kuat maka derajat haditsnya turun.
b) Apabila ada keterkaitan dengan hadits lain, derajat “matan” haditsnya menjadi naik (misal dari derajat “dha’if” dapat naik ke derajat “hasan lighairihi”), untuk hadits maudhu’ tidak dapat naik derajatnya.

1. Hadits tentang “Berpuasalah, maka kalian akan sehat.”

Sanad hadits ini dha’if (lemah), tetapi kebenaran perkataan ini telah jelas dan telah dibuktikan dalam dunia kedokteran. Oleh karena itu, pernyataan ini dapat kita pakai namun perkataan ini jangan kita yakini seutuhnya adalah perkataan Nabi Muhammad saw. Begitu pula dalam ceramah seharusnya tidak dinyatakan bahwa ini adalah sabda Rasulullah saw.

2. Hadits tentang “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”

Sanad hadits ini dha’if, ditambah dengan kandungan haditsnya yang SANGAT ANEH. Sungguh ini hanyalah alasan bagi pemalas. Bagaimana mungkin tidur adalah ibadah sementara pena diangkat (malaikat berhenti mencatat) ketika manusia itu tidur?
Hadits prinsip: “Diangkat pena dari tiga golongan; dari orang yang TIDUR hingga dia bangun, dari anak KECIL hingga dia baligh, dan dari orang GILA hingga dia berakal sehat.” (H.R. Abu Dawud)
*Maksud diangkat pena adalah tidak dihishab atau dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.
**Dan andaikan ada ibadah maka bukan tidurnya, tetapi dzikirnya sebelum tidur.
***Terakhir, ingatlah bahwa Indonesia merdeka ketika bulan puasa. Fatahillah merebut kembali Sunda Kelapa ketika bulan puasa. Nabi Muhammad saw. memenangkan perang Badar ketika bulan puasa, perebutan kembali Makkah, perang Khandaq, Perang Tabuk, penyebaran Islam ke Yaman, penghancuran berhala al-‘uzza, pembebasan Andalusia (Spanyol), penaklukan tentara Mongol, dan masih banyak perang lainnya. Artinya, puasa bukan untuk bermalas-malasan, tetapi untuk perjuangan, produktivitas, kinerja, belajar, dan ibadah yang optimal.

3. Hadits tentang “Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan), dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”

Sanad hadits ini dhaif, ditambah kandungan isinya yang tidak benar. Adapun yang benar adalah seluruh bulan Ramadhan itu terdapat rahmat, ampunan, dan pembebasan dari api neraka, bahkan di bulan lain pun apabila manusia bertaubat ia akan mendapatkannya pula. Contoh satu hadits saja yang menguatkan hal tersebut:

“Pada awal malam bulan Ramadhan, syetan-syetan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’. Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. DAN ITU TERJADI SETIAP MALAM” (H.R. Tirmidzi, shahih)

4. Hadits tentang “Amalan sunnah di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan”

Sanad hadits ini dhaif, ditambah dengan kandungan isi yang kurang tepat.
Hadits prinsip: "Setiap amal perbuatan anak Adam - yakni manusia itu, yang berupa kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya dengan 10 KALI sehingga 700 KALI lipatnya."Allah Ta'ala berfirman: melainkan puasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku akan memberikan balasannya.” (H.R. Muslim)
Bahkan dalam Al-Quran Q.S. 2:261 dinyatakan “Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.”

5. Hadits tentang “Doa berbuka puasa”

Doa “Dzahabazhzhoma-u...” (sanad hadits ini hasan, tidak sampai shahih karena ada perawi yang tsiqah tetapi memiliki kelemahan)
Doa “Allahumma laka shumtu...” (sanad hadits ini dha’if, tetapi kandungan isinya baik dan tidak ada pertentangan sama sekali dengan kaidah/dalil Islam)
‘Risi’ kita mendengar seseorang saling menyalahkan satu sama lain hanya karena dia sebatas tahu sanad hadits yang dha’if tersebut. Dalam hal ini ada beberapa PRINSIP:
1. Terkait doa, memakai bahasa Indonesia bahkan bahasa Jawa pun boleh, tidak harus bahasa Arab.
2. Doa “Allaahumma lakashumtu...” memang dha’if, tetapi bukan masalah dha’if atau tidaknya. Yang namanya doa itu lebih kepada matan/kandungannya. Selama itu baik, dapat diambil. Tidak boleh disalahkan mentah-mentah apabila berkaitan dengan doa.
3. Doa “Allaahumma lakashumtu...” hampir mirip dengan doa “Allaahumma baariklanaa...”, yaitu pada lafaz: "razaqtanaa" mirip dengan "rizqika afthortu"; yang satu "rezeki yang telah Engkau berikan kepada kami" dan yang satu "atas rezeki-Mu aku berbuka". Dalam konsep syukur, prinsip merasa segala sesuatu adalah "pemberian langsung (kebersamaan dengan Allah)" merupakan konsep syukur paling dasar dan penting. Penerapan ketika kita makan/minum, maka sedikit atau banyak kita akan sangat berterima kasih dengan Yang Memberi, karena kita menganggap itu “pemberian”. Jika kita diberi, apabila sedikit kita tetap senang dan berterima kasih meskipun lebih banyak tentu lebih senang. Hehehe.
4. Doa “Dzahabazhzhoma-u...” berdasarkan artinya (Telah hilang dahaga, telah basah tenggorokan dst...) seharusnya dibaca "setelah berbuka", bukan sebelum. Doa ini pun baik. Adapun doa "Allaahumma lakashumtu..." dapat dibaca sebelum atau setelah meskipun lebih pas "sebelum berbuka".
5. Kita jangan terjebak dalam persoalan "fiqh super cabang" seperti ini, asalkan hal itu tidak bertentangan dengan prinsip dan kaidah Islam.
6. Permasalahan shahih/tidak, dha’if/tidak, paling "diketatkan" dalam hal hukum ushul fiqh halal haram, mubah, makruh, sunnah. Berkaitan dengan yang lain, para ulama tidak ketat dalam sanad hadits. Bahkan mengamalkan hadits dha’if yang terkait "fadhilah amal" pun boleh dengan beberapa catatan. Yang penting tidak berkaitan dengan status hukum Islam.
7. Simpulan: kedua jenis doa berbuka puasa tersebut dapat diamalkan.

6. Hadits tentang “Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”

Sanad hadits ini dha’if dan isinya kurang sesuai. Allah Maha Pengampun dan menyukai orang-orang yang bertaubat dengan sebenar-benar taubat. Fatawa Lajnah Daimah Komisi Fatwa Saudi Arabia menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i, ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.”

7. Hadits tentang “Apabila telah masuk bulan Ramadhan, syetan-syetan pun dibelenggu.”

Hadits ini shahih bahkan sangat shahih karena diriwiyatkan baik oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim juga terdapat matan yang sama dalam hadits lain. Namun, banyak yang menafsirkan tidak sesuai dengan haditsnya, padahal lafaz hadits tersebut cukup jelas. Hal ini karena pertanyaan mengapa kejahatan masih terjadi pada bulan Ramadhan? Mereka menyalahkan syetan (Lah, syetan disalah-salahin hehehe), padahal hal ini sebenarnya telah dijelaskan dalam Al-Quran:

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu fujuur dan taqwa.” (Q.S. Asy-Syams: 8)

Di dalam setiap diri manusia terdapat jiwa fujuur dan taqwa, jiwa buruk dan jiwa baik. Adapun pengaruh dari luar diri manusia adalah syetan. Sehingga di luar bulan Ramadhan pun apabila jiwa fujuur lebih kecil daripada jiwa taqwa (jiwa taqwa lebih besar) namun resultan dari jiwa fujuur+bujukan syetan lebih besar dari jiwa taqwa, maka yang timbul adalah tetap kejahatan. Adapun pada bulan Ramadhan, apabila seseorang masih melakukan kejahatan berarti memang jiwa fujuur sudah lebih besar daripada jiwa taqwa. Jadi jangan lagi menyalahkan syetan, OK? :D

8. Kesalahan berupa berjalan terburu-buru (bahkan lari) mendatangi shalat tarawih (shalat apapun)

Sudah deh, capek jalan tergesa-gesa. Mengganggu shalat orang lain (karena suara berisik) dan merugikan diri sendiri (karena nafas jadi tidak teratur, capek, panas, kurang khusyu’). Catatan: meskipun kita tertinggal seluruh rakaat, namun kita masih bisa duduk tasyahud akhir bersama imam; pahala jamaah tetaplah kita dapatkan. Perhatikan hadits berikut:

“Apabila kalian mendengar IQOMAH maka pergilah untuk sholat (kemasjid) dengan tenang dan tidak terburu-buru, apa yang kalian dapatkan dari rakaat sholat ikutilah dan yang tertinggal sempurnakanlah.” (H.R. Bukhari).
Abu Hurairah ra. berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Apabila SHALAT TELAH DIDIRIKAN, JANGANLAH kamu mendatanginya dengan TERGESA-GESA. Datangilah dengan berjalan yang TENANG, tunaikanlah shalat bersama mereka dan sempurnakanlah rakaat yang tertinggal.” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan, “... Sebab sesungguhnya, bila seorang di antara kamu sudah menuju shalat, berarti ia sudah shalat.”

9. Anggapan keliru yang meyakini adanya hadits untuk berbuka dengan yang manis

Tidak ada hadits yang menyatakan bahwa berbukalah dengan yang manis. Itu bukanlah hadits namun hanyalah sebuah isu/gosip. Adapun sunnahnya adalah berbuka dengan kurma. Mentang-mentang buah kurma itu manis, kemudian menganggap sunnah berbuka dengan yang manis, tentu sifat kurma berbeda.

Fakta: beberapa orang apabila berbuka dengan buah manis selain kurma malah sakit perut/lambung, berbuka dengan yang manis tubuh cepat lemas+cepat lapar+mengantuk, dan apabila kebanyakan manisan kalori menumpuk => alhasil puasa malah tambah gemuk hehehe.

Penelitian: dalam keadaaan perut kosong kemudian makan makanan manis-manis yang penuh dengan gula (karbohidrat sederhana) justru merusak kesehatan. Sedangkan kurma adalah karbohidrat kompleks, bukan “gula” (karbohidrat sederhana). Dan hanya dengan beberapa butir kurma kalorinya sama dengan sepiring nasi. Tinjauan ilmiah penelitian ini dapat Anda cari di google “berbuka dengan yang manis merusak kesehatan”.

“Jika seorang dari kalian berbuka puasa, maka berbukalah dengan kurma. Jika tidak ada kurma, maka berbukalah dengan air, karena sesungguhnya air itu dapat memebrsihkan (mensucikan).” (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi. Ia berkata, “hadits ini hasan shahih”)

Anas bin Malik berkata: “Adalah Nabi berbuka dengan ruthab (kurma matang berair) sebelum shalat (Maghrib), bila tidak ada ruthab maka dengan tamar (kurma matang kering), bila tidak ada maka dengan beberapa teguk air.” (H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ad-Daruquthni, dengan sanad shahih).
Jadi, apabila berbuka dengan banyak yang manis-manis: bersiaplah!, berbuka dengan manis sekedarnya: boleh-boleh, berbuka sesuai hadits Nabi: selamat-selamat! (:salaman)

10. Anggapan sebagian orang bahwa setelah imsak tidak boleh makan/minum lagi

Tidak pernah disebutkan bahwa puasa adalah menahan makan/minum dari imsak s.d. terbenam matahari. Yang benar adalah sejak masuk waktu fajar (ditandai dengan adzan shubuh), bahkan dalam beberapa hadits “shahih” apabila adzan sudah berkumandang tetapi kita sedang minum air dalam sebuah gelas yang sedang kita minum maka tetap boleh melanjutkan minum tersebut, meskipun hal ini juga menjadi perbedaan pendapat lagi karena di zaman dulu kan tidak ada ilmu hisab untuk menentukan jadwal tepat shalat lima waktu, tidak ada jam yang seperti sekarang ini, dan tidak ada alarm tidur.
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (Q.S. Al-Baqarah: 187)
Adapun tidak tepat pula apabila imsak dianggap “bid’ah tercela” hanya karena hal ini tidak terdapat di zaman Rasulullah saw. Imsak menurut para ulama diperbolehkan karena hanya bersifat kehati-hatian dan tidak menyalahi prinsip hukum Islam.

11. Perselisihan mengenai cara shalat lail (tarawih)

Nabi Muhammad saw. sendiri melakukan shalat malam dengan berbagai macam CARA dan berbagai macam JUMLAH rakaat, baik dengan didahului shalat IFTITAH 2 rakaat ringan atau tidak, baik shalat lagi setelah shalat WITIR atau tidak, baik shalat dua rakaat salam, 4 rakaat salam, 8 rakaat salam, witir 1 rakaat, 3 rakaat, 5 rakaat, dst. Jadi misalnya apabila seseorang biasa tarawih 4-4-3 maka tidak masalah apabila dalam suatu masjid ternyata ia mengikuti tarawih dengan 2-2-2-2-3, dst.

12. Perdebatan/perselisihan mengenai jumlah shalat tarawih 11 vs 23 rakaat

Jangankan 23 rakaat, generasi terdahulu saja ada yang sampai 39 bahkan 49 rakaat.

Prinsip 1: Jangan meributkan hal-hal yang hukumnya sunnah. Apabila ditanya, “Mana yang salah, 11 atau 23 rakaat?” jawab, “Gak tarawih aja gak salah”. Apabila ditanya, “Mana yang lebih utama, pakai qunut atau tidak?” jawab, “Yang lebih utama yang lebih khusyu’ shalatnya”. “Jadi bagus mana 11 atau 23 rakaat?” jawab, “Sudah dibilang tergantung khusyu’nya, kan ada riwayat atsar ‘Dua orang melakukan shalat yang sama, tetapi perbedaan keutamaan antara keduanya bisa SEJAUH LANGIT DAN BUMI ...’

Prinsip 2: Pada hakikatnya shalat malam itu jumlahnya tidak terbatas, “semampunya”, adapun jumlah 11 dan lainnya merupakan jumlah yang disukai Nabi, bukan berarti tidak boleh lebih dari itu.

Filosofi yang terabaikan: Dari banyak riwayat Rasulullah memang sering shalat malam 11 rakaat. Kemudian ketika masa khalifah Umar, bulan Ramadhan orang-orang libur bekerja dan hanya fokus beribadah sehingga masjid penuh. Oleh karena itu karena pada semangat beribadah maka mulai pada masa Umar bin Khatthab mulai dikenal 23 rakaat (sebenarnya pada masa Umar ada riwayat 11, ada pula 23, artinya pada suatu waktu 11 dan pada suatu waktu 23 rakaat). Dan 23 rakaat ini DILAKUKAN PULA oleh khalifah Utsman, Ali, sampai masa Bani Umayyah. Kemudian pada masa keemasan Umar Bin Abdul ‘Aziz ketika masyarakat sudah sangat maju dan makmur, bahkan ketika harta baitul maal dibagi-bagikan tidak mau diambil, sehingga hasrat mencari dunia sudah terpenuhi, oleh karena itu mulai masa ini shalat menjadi 36+3=39 rakaat. Begitu perkembangan seterusnya hingga ada pula riwayat 41, 47, sampai 49 rakaat. Sedangkan MAZHAB YANG EMPAT: Imam Hanafi, Imam Ahmad, dan Imam Syafi’i adalah 23 RAKAAT, sedangkan mazhab Imam Maliki 39 rakaat (riwayat yang lain 49 rakaat). Dan dulu masjid Madinah shalatnya 39 RAKAAT (16 [4x4] rakaat yang ditambahkan dari 20 rakaat adalah untuk berusaha menyamai pahala orang Makkah yang dalam 4x istirahat tarawihnya melakukan 4x thawaf). Dan perlu diketahui pula bahwa SEKARANG Masjid Al-Haram Makkah dan Masjid An-Nabawi Madinah shalat tarawih 20 rakaat dan 3 rakaat witir. Jadi pengikut 11 jangan sekali-kali menyalahkan atau membid’ahkan pengikut 23! Satu sama lain tidak boleh saling menyalahkan, karena masih dalam satu ‘koridor’ yang sama.

Pertanyaan: Bid’ahkan itu semua yang menyelisihi Nabi? Shalat 23 rakaat yang dipelopori Umar Bin Khatthab termasuk bid’ah hasanah. Umar ra. sendiri yang menyatakan bahwa “inilah sebaik-baik bid’ah”. Ada yang membantah bahwa shalat tarawih berjamaah bukan bid’ah karena Nabi Muhammad saw. pernah melakukannya. Yap benar sekali, tetapi menjadikan shalat tarawih setelah shalat isya’ selalu berjamaah sebulan penuh itulah bid’ah! Sekali lagi, bid’ah hasanah.

Tinjauan fiqh: Selama ini ramai umat muslim terjebak dalam potongan hadits “semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya adalah di neraka” sehingga mereka tidak mengakui adanya bid’ah hasanah bahkan seringkali memicu perselisihan. Hei kawan, tolong jangan tergesa-gesa dulu, Anda harus mempelajari SEMUA hadits yang terkait dengan bid’ah disertai pembahasan dari sisi ushul fiqhnya. Sekali lagi, suatu perbuatan yang baru harus diserahkan kepada pakar ushul fiqh (tidak bisa hanya kepada ustadz biasa), apakah termasuk bid’ah yang baik atau buruk.
Oleh karena itulah, pencetus ilmu ushul fiqh pertama, Imam Syafi’i dan kitab ushul fiqh-nya “Ar-Risalah” yang menjadi rujukan utama sampai saat ini berkata demikian:

“Bid’ah itu ada dua, bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah yang terpuji. Sedangkan yang bertentangan dengan Sunnah adalah bid’ah yang tercela.” [Imam Syafi’i]

13. Tidak mendengarkan ceramah tarawih bagi ‘aliran’ tertentu

Ketika penulis pernah menanyakan kepada orang yang tidak mau mendengarkan ceramah tarawih (sambil sibuk membaca Al-Quran di tengah-tengah jamaah), ia menjawab tegas yang intinya “yang wajib hanya mendengarkan khutbah jumat, dan ceramah tarawih ini tidak ada dalam sunnah Nabi”. Astaghfirullah. Sungguh telah teracuni pemikiran yang amat fanatik! Ini berkaitan dengan kesalahfahaman sebelumnya, yaitu mengenai bid’ah. Bahwa TIDAK SETIAP YANG TIDAK ADA DI ZAMAN NABI ITU SESAT, TETAPI HARUS DIKAJI DARI SISI FIQH. Maka baca, baca, dan terus belajar (karena ilmu itu tak terbatas).

14. Meninggalkan jamaah tarawih setelah mendapat 8 rakaat

Pemandangan ini sudah cukup banyak terjadi, baik pada masjid yang 11 apalagi 23 rakaat. Jelas merugi bagi yang melakukannya.
“Orang yang shalat tarawih mengikuti imam SAMPAI SELESAI, ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk.” (HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)
Dalam lafaz yang lain “Ditulis baginya pahala shalat di sisa malamnya” (HR. Ahmad)
Berkaitan dengan hal ini, agar seseorang tetap dapat mendapatkan pahala utuh tersebut, apabila ia tidak terbiasa shalat 23 rakaat, seharusnya ia mencari masjid lain yang 11 rakaat, dan bukan berjamaah di masjid yang 23 rakaat tetapi meninggalkan masjid setelah 8 rakaat.

15. Anggapan bahwa shalat witir dan/atau tarawih hanya ada di bulan Ramadhan

Sama saja di bulan Ramadhan atau tidak, shalat malam itu “biasa” dilakukan 11 rakaat. Meskipun Nabi saw. pun tidak selalu 11 rakaat melakukannya, kadang kurang kadang lebih.
“Dari Aisyah ra., katanya: "Rasulullah saw. tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat - sunnah, BAIK DALAM BULAN RAMADHAN ATAUPUN SELAIN RAMADHAN. Beliau saw. bersembahyang 4 rakaat, maka janganlah engkau bertanya betapa indah dan panjangnya, kemudian bersembahyang lagi 4 rakaat, maka jangan pula engkau bertanya betapa indah dan panjangnya, kemudian bersembahyang 3 rakaat.” (Muttafaq ‘alaih, shahih)

*CATATAN: mengenai cara dan jumlah rakaat terdapat banyak hadits yang menerangkannya. Bahkan sama-sama dari Aisyah dalam hadits shahih yang lain disebutkan bahwa Nabi shalat setiap 2 rakaat salam. Bukan berarti bahwa ini bertentangan (Pepatah “Jika kamu melihat ada sesuatu yang salah, MUNGKIN kesalahannya bukan pada apa yang kamu lihat, tapi bagaimana caramu melihat”). Sehingga ini dapat dipahami bahwa pada suatu waktu Rasulullah selalu shalat malam 4-4-3, dan pada suatu periode lain ternyata Rasulullah saw. shalat dengan 2 rakaat salam, dan Aisyah mengatakan sesuai kondisi yang ia lihat pada waktu itu.

16. Anggapan bahwa setelah shalat witir tidak boleh shalat malam lagi

Pendapat yang seperti ini lemah. Namun, mayoritas ulama sepakat bahwa shalat witir bukanlah penutup shalat malam, tetapi pengganjil shalat malam. Ada banyak alasan yang menguatkan hal ini:
a. Karena Allah itu witir (ganjil) dan menyukai yang ganjil. “Sesungguhnya, Allah itu witir (ganjil) dan menyukai pada yang ganjil, maka shalat witirlah kalian, wahai ahli Quran.” (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’i, Al-Hakim, dan Ahmad)
b. Karena dalam beberapa hadits shahih bahwa Rasulullah saw. pun melakukan shalat sunnah dua rakaat setelah shalat witir.
c. Kalau kita melihat hadist shahih yang mereka gunakan yaitu “Aj’aluu aakhira shalaatikum billaili witran.” Lihatlah “ruh” dari kandungan hadits ini adalah shalat witir untuk mengganjili shalat malam. Dan ini didukung dengan hadits shahih muttafaq ‘alaihi “Shalat malam itu dua rakaat-dua rakaat. Jika engkau khawatir akan datangnya fajar maka shalatlah 1 rakaat AGAR JUMLAH RAKAATNYA GANJIL”. Ya, karena Allah menyukai yang ganjil terkait hal apa saja sebagaimana berbuka dengan 3 kurma, mencuci 3x, istighfar 3x, dzikir 33x, sa’i 7x, thawaf 7x, melontar jumrah masing-masing 7x di 3 tempat, 7 lapis, dst...
d. Karena dibalik hadits shahih “Tidak ada dua witir dalam satu malam” mengandung makna tersirat bisa shalat malam dua kali namun hanya boleh shalat witir satu kali.
e. Karena shalat witir di akhir (penutup) malam itu menunjukkan keutamaan dan bukan merupakan keharusan sebagaimana hadits shahih Muslim “Maka hendaklah berwitir di akhir malam, karena sesungguhnya shalat akhir malam itu disaksikan oleh para malaikat dan yang sedemikian itulah yang LEBIH UTAMA." Dan didukung dengan H.R. Abu Dawud ketika Umar biasa melakukan shalat witir di akhir malam maka Rasulullah saw. menjawab “Engkau Umar, berpegang pada KEUNGGULAN”.
f. Karena Rasulullah saw pun dalam hadits shahihnya (karena sunnah muakkadnya shalat witir) pernah menyuruh sahabatnya untuk “tidak tidur sebelum menunaikan shalat witir”, dan ini sama sekali tidak berarti bahwa Nabi melarang shalat malam lagi apabila bangun di tengah malam.
g. Karena dalam hadits shahih Bukhari Muslim juga Rasulullah saw. pernah mengerjakan shalat witir pada permulaan malam, pernah pada tengah malam, dan pernah pada akhir malam.
h. Karena dalam H.R. Abu Dawud ketika Abu Bakar ditanya tentang kapan biasanya melakukan shalat witir maka ia menajwab "Saya biasa melakukannya pada awal malam selepas isya'," jawab Abu Bakar.
i. Karena kandungan H.R. Tirmidzi, Abu Dawud, Nasai, Ahmad disebutkan bahwa Thalq bin Ali pernah berpergian kemudian shalat malam dan witir. Setelah kembali ke kampungnya, ia menjadi imam shalat malam lagi setelah selesai berpergian, namun ketika sudah mau shalat witir ia menyuruh orang lain menjadi imam karena ia sudah shalat witir. Dst...
*Dengan demikian, sungguh beruntung bagi siapa saja yang shalat tarawih bersama imam sampai selesai kemudian melakukan shalat tahajjud semampunya sebelum makan sahur.

17. Kekeliruan penggunaah istilah “zakat fitrah”

Zakat yang diwajibkan pada akhir bulan puasa yang benar adalah “zakat fithri”. Filosofi kewajiban zakat ini timbul karena mencapai ‘Idul Fithri, bukan ‘Idul Fitrah. Kata “fithri” yang bermakna kembali berbuka (kembali tidak berpuasa) sangat berbeda dengan fitrah yang bermakna suci seperti bayi. Karena dengan zakat tersebut tidak menyebabkan seseorang bisa suci seperti bayi baru lahir, tidak, ia hanya membersihkan dosa-dosa kecil, untuk dosa-dosa besar harus dilakukan dengan taubat.

18. Kekeliruan pemahaman bahwa orang miskin tidak perlu zakat fithri

Kewajiban zakat fithri timbul karena kita memiliki kelebihan makanan atau hartanya dari keperluan tanggungannya pada malam dan pagi hari raya ‘Idul Fithri. Perhatikan kembali syarat zakat tersebut, pengertian mampu di sini ialah yang memiliki “kelebihan makanan”. Sehingga sebenarnya untuk mensucikan dosa-dosa kecilnya, para fakir miskin pun apabila memiliki kelebihan makanan tetap wajb mengeluarkan zakat fithri, MESKIPUN pada akhirnya mereka juga lah yang akan menerima zakat fithri dari orang lain. Tetapi yang penting, kewajiban telah ditunaikan. Karena pada prinsipnya kewajiban zakat fithri adalah untuk semua muslim tanpa membedakan laki-laki-perempuan, bayi-anak-dewasa, kaya-miskin. Berbeda dengan kewajian zakat maal/harta/pemghasilan yang hanya diwajibkan untuk orang yang kaya (nishab terpenuhi).

“Dan Allah Tuhan Yang Maha Mengetahui.”


*GKPI: Gerakan Komprehensif Pemahaman Islam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar