Sabtu, 28 Juni 2014

PANDUAN WAJIB MEMILIH PEMIMPIN BAGI MUSLIM


-Panduan yang sudah mulai dilupakan umat akhir zaman, baik dalam memilih pemimpin dari tingkat kecil/masyarakat sampai tingkat negara-


Setelah pada tulisan sebelumnya sedikit kita bahas aspek bagi para pemimpin melalui tulisan "PERINGATAN KERAS UNTUK PARA (CALON) PEMIMPIN DALAM PEMILU", agaknya sangat diperlukan juga aspek bagi pihak yang akan menentukan pemimpin, apalagi menjelang pilpres tak lama lagi (beda dengan berita-berita yang membanjiri media, di sini tidak akan ‘berkampanye’).

PENDAHULUAN

“Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (H.R. Muslim - shahih)

Dan semestinya kita sadar bahwa saat ini sudah berada dalam masa pengasingan itu! Sangat bisa jadi, hal ini muncul karena dipicu dari orang yang memiliki kekuasaan (pemimpin). Ya, pemimpin! Dan termasuk salah satu tanda akhir zaman yang shahih adalah diangkatnya ilmu, tersebarnya kebodohan, pemimpin yang menyesatkan, maupun pemimpin yang bodoh, bahkan Nabi Muhammad saw dalam haditsnya amat meresahkan masalah ini.

“Sesungguhnya yang aku takutkan atas umatku adalah (berkuasanya) para pemimpin yang menyesatkan.” (H.R. Abu Dawud, Trimidzi, Ahmad, Ad-Darimi - shahih)

 “Sesungguhnya akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, di masa itu para pendusta dipercaya sedangkan orang jujur didustakan, di masa itu para pengkhianat diberi amanah sedangkan orang yang amanah justru dituduh khianat, dan pada masa itu muncul Ruwaibidhah, ditanyakan kepada beliau saw. ‘apa itu Ruwaibidlah?’  Rasul menjawab: ‘seorang yang bodoh (yang dipercaya berbicara) tentang masalah orang banyak/publik’.” (H.R. Ibnu Majah, Ahmad - shahih)

PEMIMPIN MEMEGANG PERANAN YANG SANGAT MENENTUKAN apakah diterapkan tidaknya hukum-hukum-Nya, diadopsi tidaknya hukum maupun budaya kebebasan barat, dilarang tidaknya ajaran Islam untuk dilaksanakan, bahkan dibiarkan hidup tidaknya nyawa orang beriman.
*Bukan berarti mengakui pemimpin sebagai pembuat hukum non administratif/syariat sehingga dianggap merusak aqidah karena hanya Allah satu-satunya pembuat/penetap hukum, akan tetapi tentang bagaimana perlakuan pemimpin tersebut terhadap hukum-Nya.

Semestinya umat Islam bercermin dari pengalaman pemimpin Turki yang mulai mengadopsi konsep barat serta mulai meninggalkan konsep Islam, dan akhirnya kejayaan keilmuan Islam berakhir pada masa pemimpin tersebut melalui runtuhnya Turki Usmani.
Lihatlah penyiksaan sadis berdarah dan penguburan hidup-hidup muslim di Suriah yang masih belum usai.
Lihatlah penghabisan tak bersisa seluruh muslim di Afrika Tengah belum lama ini dengan cara keji, mutilasi, dan kanibal! Ingat juga pembantaian dan genosida massal muslim Rohingya, Myanmar.
Lihatlah pembantaian dan pembakaran hidup-hidup muslim di Mesir juga belum lama ini.
Lihatlah apa yang terjadi di negara-negara Timur Tengah sejak sekian lama, penjajahan terhadap kaum muslim.
Lihatlah apa yang terjadi di Suriah kini, pembantaian sekeji-kejinya nyawa orang muslim, karena telah dipimpin oleh penguasa syiah kafir yang memang menghalalkan darah kita umat muslim. Di sana semuanya mahal, “kecuali nyawa”.

Sungguh, kita berharap Indonesia tidak menjadi negeri berdarah seperti di negara-negara Timur Tengah. Ya, semua itu tidak akan terjadi jika pemimpin BERSAMA DENGAN ORANG-ORANG DI SEBALIKNYA tidak “membawa misi” politik yang berbasis agama. Hal ini telah dijelaskan pula dalam ayat:

Al-Baqarah
2:217. “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup.”

Oleh karenanya, tidak semestinya seorang muslim tidak peduli dengan siapa yang akan memimpin masyarakat/negerinya.

Terkait sistem pemilu/demokrasi dalam perspektif Islam, silakan baca terlebih dahulu fatwa dari para ulama besar tentang hal ini:

Apa yang dapat kami simpulkan akhirnya bukanlah menyalahkan salah satu pendapat (karena ijtihad jika benar dua pahala, jika salah satu pahala), bukan tentang ada atau tidaknya pemilu di zaman Nabi, bukan tentang terlarang dalam memilih atau tidak memilihnya, tetapi bagaimana dengan tepat menghadapi berbagai kondisi yang kompleks dan terus berubah-ubah di era akhir zaman, hingga kini pemilu Indonesia telah memasuki pemilu yang sangat berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya.

Secara sederhana, dapat diilutrasikan sebagai berikut:

Dari 100 orang, jumlah muslim dan kafir berimbang, ada 2 calon pemimpin dari muslim dan dari kafir*.
Apabila banyak kaum muslim yang tidak peduli, maka pasti pemimpin kafir yang terpilih, hal ini sama saja MELANGGAR LARANGAN ALLAH karena SECARA TIDAK LANGSUNG menjadikan pemimpin kafir (apalagi orang kafir tersebut membawa “misi” anti Isam). Dalam kondisi tersebut, yang terlarang adalah tidak memilih. Namun, memilih pun bisa menjadi terlarang apabila ia justru memilih pemimpin kafir tersebut.
Bagaimana jika dari 100 orang tersebut hampir semuanya kafir dan ada 2 calon pemimpin kafir yang sama-sama memusuhi Islam? Atau dari 100 orang tersebut hampir semuanya muslim dan ada 2 calon pemimpin muslim yang sama-sama meninggalkan hukum-Nya karena tertarik dengan hukum barat? Maka lebih baik ia tidak terlibat.
*kafir maupun Islam yang sekuler/liberal/pluralisme.

Oleh karena itu, KATA KUNCINYA adalah tentang bagaimana keberlangsungan agama dan hukum Allah di tangan pemimpin setelah ia menjadi pemimpin, bukan menyoroti tentang bagaimana alternatif jalan menuju posisi pemimpin, bukan menyoroti tentang memilih tidaknya, dan bukan menyoroti tentang ada tidaknya demokrasi di zaman Nabi.
*Sistem monarki (kerajaan) yang dipilih berdasarkan keturunan (bukan kekhalifahan) yang mana sistem ini juga tidak ada/tidak diajarkan Nabi dan para sahabat, namun dapat mengantarkan Islam menuju ke puncak kejayaan.
**Sistem demokrasi yang kini telah dicampuri dengan ambisi, kedustaan, dan kesombongan memang bukanlah jalan Nabi, dan Islam memang tidak akan berjaya dari sistem ini sampai turunnya Imam Mahdi dan Nabi Isa. Namun, ketidakpedulian lah yang akan mengakibatkan merajalelanya kemunkaran dengan cepat, ketidakpedulian lah yang dapat mempercepat kehancuran dan pengasingan Islam itu, karena sistem politik internasional zaman ini sudah dirasuki gerakan politik berbasis agama untuk menyerang dan ‘melenyapkan’ Islam.

Setelah kita memahami betapa pentingnya peran pemimpin, mari kita simak inti dari pembahasan ini.

KAIDAH-KAIDAH YANG WAJIB DIPERHATIKAN

Al-Maaidah
5:51. “Hai orang-orang yang beriman, JANGANLAH KAMU MENGAMBIL ORANG-ORANG YAHUDI DAN NASRANI MENJADI PEMIMPIN-PEMIMPIN (MU); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. BARANG SIAPA DI ANTARA KAMU MENGAMBIL MEREKA MENJADI PEMIMPIN, maka sesungguhnya orang itu TERMASUK GOLONGAN MEREKA.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.”
*Berhati-hatilah dengan bisikan syetan dan jangan pernah kita mengatakan “pemimpin Islam aja nggak amanah, korupsi lagi, ya mendingan orang kafir asalkan baik dan bisa mimpin.” Tidak ada yang berhak menantang larangan Allah pada ayat tersebut.

5:57. “Hai orang-orang yang beriman, JANGANLAH KAMU MENGAMBIL JADI PEMIMPINMU, orang-orang yang MEMBUAT AGAMAMU JADI BUAH EJEKAN DAN PERMAINAN*, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.”
*termasuk orang-orang yang mengaku beriman namun mempermainkan agama.

Al-A’raaf
7:27. “Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.”

At-Taubah
9:23. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, JIKA MEREKA LEBIH MENGUTAMAKAN KEKAFIRAN ATAS KEIMANAN dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.”
*termasuk mereka yang mengaku beriman namun mengutamakan/membela kekafiran/kesesatan.

Al-Ahzab
33:67. Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).”
33:68. “Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar".

Al-Mujadilah
58:22. “Kamu TIDAK AKAN MENDAPATI sesuatu KAUM YANG BERIMAN KEPADA ALLAH DAN HARI AKHIRAT, SALING BERKASIH SAYANG DENGAN ORANG-ORANG YANG MENENTANG ALLAH DAN RASUL-NYA, SEKALIPUN orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka.”
*Yang dimaksud ialah kafir harbi, bukan kafir dzimmi. Adapun kafir dzimmi inilah yang akan hidup rukun dengan umat Islam, bahkan Rasulullah saw dalam Hadits Riwayat Thabrani menyatakan bahwa siapa yang mengganggu kafir dzimmi, maka sungguh ia telah menggangguku.

Al-Qalam
68:8. “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah.”
*Jangan pula kita mengikuti orang-orang/kelompok/partai yang mengingkari ayat-ayat dan hukum Allah, bahkan menentangnya.


Walau bagaimanapun, pemimpin merupakan cerminan rakyatnya. Apa yang masing-masing terus bisa kita lakukan adalah dimulai dengan memperbaiki diri untuk memperbaiki komunitas. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’du [13]:11)
------------------------------

SIMPULAN

Jadi, pertanyaannya bukan “siapa yang memimpin?” tetapi “dengan apa dia memimpin?”. Jika ia memimpin dengan Kitabullah dan Sunnah, maka siapapun sosoknya kita wajib taat. Namun, jika sebaliknya, maka Allah dan Rasul-Nya lah yang harus ditaati.

Bukan hanya tentang siapa dia, tetapi juga siapa orang-orang/kelompok/partai di belakangnya.

Bukan tentang hasil/prestasi apa saja yang pernah diperoleh, tetapi tentang siapa yang lebih amanah, siapa yang lebih jujur, dan siapa yang lebih memegang janji.

Bukan tentang siapa yang merakyat atau siapa yang tegas, bukan tentang siapa yang lebih ilmiah, tetapi tentang siapa yang membela ajaran/hukum Islam, atau setidaknya siapa yang tidak akan menghalangi syariat Islam.

Bukan tentang bagaimana pertumbuhan ekonomi jika ia memimpin, tetapi bagaimana keberlangsungan agama dan hukum Allah jika ia memimpin.

Bukan tentang siapa yang akan meningkatkan gaji/upah Anda, bukan tentang siapa yang dapat memajukan Indonesia, tetapi tentang siapa yang sanggup menciptakan kedamaian dan kerukunan antar umat beragama, tentang siapa yang berani memberantas kejahatan dan kemaksiatan, siapa yang berani menumpas/menutup tempat pelacuran, siapa yang berani menegakkan hukum langit hukuman mati/rajam/potong tangan atau potong tubuh secara silang.

Bukan tentang siapa yang lebih bagus program-programnya,  tetapi tentang iman dan pembelaan kita terhadap agama Allah.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar